Januari 28, 2019


"Ke pedalaman Sumatera!? Memangnya mau ngapain? Nanti diterkam macan loh! " Tanya eyang dengan polosnya saat saya menelepon beliau di boarding room bandara Adisoetjipto sambil menunggu pesawat langganan yang tak kunjung datang.

Beberapa waktu lalu saya mendapat penugasan dari sebuah lembaga penelitian di Jogja yang bekerjasama dengan NGO (Non Govermental Organization) dari Amerika untuk melakukan pengambilan data kesehatan masyarakat di daerah hinterland alias pedalaman Sumatera Selatan.

Saya langsung kegirangan waktu mendapat kabar itu. Terbayang asiknya menjelajah daerah yang jarang dijamah oleh orang lain. Boro-boro dijamah, bahkan mungkin banyak yang tidak tahu akan keberadaanya. Maklum, pedalaman Sumatera Selatan bukanlah destinasi wisata.

Daerah yang saya tuju itu adalah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS) dan Ogan Komering Ilir (OKI). Kedua daerah ini masing-masing berada di perbatasan Sumatera Selatan.

Yang hulu berbatasan langsung dengan Lampung dan Bengkulu. Berada di dataran tinggi yang sejuk dengan hutan-hutannya yang lebat.

Sementara yang hilir selain berbatasan dengan Lampung juga berbatasan dengan Bangka Belitung. Berada di dataran rendah yang panas, di kelilingi oleh rawa-rawa penuh nyamuk ganas.

Palembang, Numpang Lewat

Saya baru bisa eksplor Palembang setelah tugas pengambilan data selesai.

Setelah sempat delay yang membuat saya bengong selama hampir dua jam lamanya, pesawat akhirnya lepas landas juga dari Jogja menuju Palembang dengan lama perjalanan sekitar satu setengah jam.

Mendekati Palembang, dari jendela pesawat, sungai Ampera mulai terlihat, berkelak kelok indah di balik rimbunnya hutan beton Bumi Sriwijaya, julukan untuk kota penghasil pempek ini.

Menginjakkan kaki di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II saya disambut oleh sebuah display di satu sudut lorong yang menarik perhatian saya. Yaitu sebuah display kain songket khas palembang dengan warna-warninya yang blink-blink.

Saya berdiri sebentar disitu, terkagum dengan indahnya kain tradisional orang Palembang.

Display kain tenun khas Palembang di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II

Dua puluh menit kemudian saya sudah berada di dalam taksi yang akan mengantar saya ke agen travel jurusan Palembang - Muara Dua, pusatnya kabupaten OKU Selatan.

Ingin hati ini mampir dulu di Palembang barang sehari atau dua hari, tapi nanti orang kantor pasti langsung ngambek. Jadi saya tunda dulu eksplor Palembangnya sampai pengambilan datanya selesai.

Rencananya saya akan berada di pedalaman Sumatera Selatan selama dua bulan, iya, dua bulan! Sendirian pula.

3 Kabupaten, 12 jam perjalanan

Infografik yang menunjukan jarak tempuh antar kabupaten di Sumatera Selatan dan Pulau Jawa.

Yang membuat saya terheran saat berada di Sumatera Selatan adalah luas wilayahnya. Kabupaten yang ada di Sumatera Selatan ini wilayahnya berkali-kali lipat lebih luas dari kabupaten yang ada di pulau Jawa.

Sebagai perbandingan, di Jawa Tengah, kabupaten yang paling luas adalah Kabupaten Cilacap dengan luas wilayah hanya 2.124 km2. Bandingkan dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir yang luas wilayahnya mencapai 18.359 km2, hampir sepuluh kali lipatnya! apalagi jika dibandingkan dengan luas DKI Jakarta yang hanya 664 km2, mungkin Jakarta hanya seluas kecamatan saja.

Daerah yang saya kunjungi pertama kali adalah OKU Selatan. Untuk menuju Kabupaten ini, dari Palembang saya harus melewati tiga kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Muara Enim, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu.

Perjalanan melewati tiga kabupaten jika dilakukan di jawa paling hanya perlu waktu tiga jam saja, tapi di Sumatera Selatan, perjalanan itu harus ditempuh selama belasan jam. Belum lagi ditambah kondisi jalan berlubang yang selalu membuat kepala saya terantuk atap mobil.

Luasnya wilayah tersebut membuat perjalanan saya seakan tak berujung – seperti slogannya almarhum Cumilebay, blogger favorit saya, semoga damai disana, mas.

Mini bus yang akan mengantarkan saya dari Palembang ke Muara Dua, pelayanannya bagus. 

Selepas sholat ashar, penumpang memenuhi mini bus berwarna orange ini. Karena saya berbadan besar, pak sopir menyuruh saya duduk di bagian paling belakang, bebarengan dengan barang bawaan penumpang. Baiklah.

Dua belas jam perjalanan harus saya lalui dengan meringkuk di bagian belakang mobil yang sempit. Tidak ada ruang untuk meluruskan kaki sama sekali.

Pemandangan selama perjalanan darat ini didominasi oleh hijaunya hutan rimba yang perlahan-lahan memudar ditelan gelap malam.

Saya sempat khawatir saat mobil melewati hutan-hutan yang sepi, dimana tidak ada kendaraan lain selain mini bus orange ini . Takut dibegal dijalan.

Banyak rumor beredar kalau daerah Sumatera Selatan itu adalah sarangnya begal dan rampok. Tapi melihat penuhnya penumpang di mobil, kekhawatiran itu sedikit lenyap. Kalau ada perampok, ya siap-siap saja di keroyok penumpang satu mobil.

Menunggu pagi

Sempitnya tempat duduk sedikit terobati dengan diputarnya lagu dangdut koplo favorit. 

Jam di smartphone saya menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Mobil melaju pelan melewati bekas tebing longsor, dilanjutkan dengan turunan yang lumayan curam.

Lampu peradaban mulai terlihat di kejauhan.

Setelah melewati sebuah jembatan, samapailah saya di Muara Dua, pusat Kabupaten OKU Selatan. Muara Dua tidaklah besar, pun, tidak terlalu maju pembangunannya.

Sedang asik melamun, tiba-tiba pak sopir bertanya, "Mau turun dimana bang?"

Sebuah pertanyaan yang seketika membuat saya bingung. Karena jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Pasti belum ada transportasi apapun di terminal.

"Saya mau ke Mekakau pak, kalau jam segini sudah ada transportasi belum yah?" tanya saya.

"Wah kalau ke Mekakau hari ini travelnya indak ado bang, baru besok lah ada travel ke Mekakau." Jawaban pak sopir tersebut langsung mak jleb. Adanya besok? terus mau ngapain saya di kota ini seharian?

"Tapi kalau abang buru-buru, abang bisa naik ojek saja ke Mekakau, biasanya mereka mangkal di depan terminal kalau pagi", lanjut pak sopir.

Seperti baru di tampar tapi langsung di elus-elus. Alhamdulilah, setidaknya ada alternatif transportasi lainnya. Walaupun saya khawatir kalau-kalau mereka mematok harga yang tak masuk akal.

Karena terminal masih sepi, pak sopir menawarkan saya untuk beristirahat dulu di loket travelnya. Kebetulan lokasinya tepat berada di depan terminal Muara Dua. Travel yang saya pakai ini bernama Titisan Sang Pangeran, wuiih keren.

Saking lelahnya, walaupun hanya beralaskan tikar, sudah bisa membuat orang tidur nyenyak. 

Disingkat Tispa, travel jurusan Palembang - Muara Dua dan sebaliknya ini menawarkan tempat istirahat dan bermalam bagi penumpangnya. Rekomended kalau kalian mau berkunjung ke Muara Dua.

Memangnya ada apa di Muara Dua? ya kalau di Muara Dua-nya sendiri sih nda ada apa-apa, tapi di dekat sini ada Danau Ranau, danau terbesar kedua setelah danau toba.

Walaupun tempat istirahatnya hanya sebatas tikar dan kasur lantai, travel Tispa ini juga memberi fasilitas air panas, kopi, dan teh gratis. Harga tiket Palembang - Muara Dua adalah Rp. 100.000 , sebuah harga yang cukup murah untuk perjalanan yang memakan waktu dua belas jam.

Kekecewaan saya karena tersiksa duduk dibelakang mobil sedikit terobati dengan pelayanan travel ini.

Badan pegal, kaki keram, leher kecetit. Saking lelahnya, baru saja lima menit rebahan, saya langsung tertidur pulas. Karena besok pagi saya masih harus melanjutkan perjalanan menuju pedalaman Sumatera Selatan yang sesungguhnya.

Bermula di Muara Dua

Tugu walet, lambang kota Muara Dua (Foto: Alan Nopriansyah) 

Jam enam pagi, sambil menyeruput kopi panas, saya berdiri di depan ruko, mengamati bus yang lalu lalang. Saya melihat beberapa tukang ojek sudah mulai bergerombol di depan terminal, bersiap menyerbu penumpang yang baru saja turun dari bus.

Saya meminjam motor ke pak sopir yang baik hati itu dengan alasan mau ke minimarket sebentar. Alih-alih sebenarnya mau sekalian melihat-lihat seperti apa suasana kota kecil ini.

Kota Muara Dua sudah mulai terlihat sibuk. Hawa sejuk kota ini semakin bertambah sejuk dengan adanya sungai Komering yang membelahnya.

Saya melewati sebuah jembatan berwarna kuning yang kontras dengan warna bangunan di sekelilingnya. Jembatan ini bernama Jembatan kuning dan merupakan salah satu landmark dari kota Muara Dua.

Jembatan kuning Muara Dua yang berdiri di atas Sungai Komering Hulu (Foto: Wahyu Budi Setyawan) 

Dari info yang saya dapat, kota ini bernama Muara Dua karena merupakan tempat bermuaranya dua sungai dari hulu, yakni sungai Selabung dan sungai Selaka.

Pertemuan dua sungai dari hulu itu diteruskan oleh sebuah sungai yang bernama sungai Komering. Jadi sungai komering ini berawal di kota Muara Dua. Sehingga nama kabupatennya pun disesuaikan dengannya, yaitu Ogan Komering Ulu Selatan.

Banyaknya sungai di Sumatera Selatan adalah sebuah berkah turun temurun bagi penghuninya karena membuat tanahnya subur sehingga bisa ditanami apa saja.

Namun dibalik berkah yang melimpah itu, pemerataan pembangunan masih lah cukup timpang, terutama untuk warga di daerah pinggiran.

Selesai berbelanja di minimarket, saya kembali ke agen travel. Berkemas-kemas, pamit kepada pak sopir, kemudian mendatangi gerombolan tukang ojek tadi.

Saya bertanya kepada gerombolan tukang ojek yang sedang duduk-duduk diatas motornya itu. "Pak, ada yang bisa antar ke Mekakau?"

"Mekakau mana mas?" Jawab salah satu tukang ojek yang memanggil saya dengan sebutan mas. Mungkin dia langsung tahu kalau saya orang Jawa dari logat bicara saya yang sangat medhok.

"Mekakau Ilir pak, gimana?" Balas saya sambil menurunkan ransel dari gendongan.

"Wah lumayan jauh juga itu, woy, ada yang mau tak?" Tanya tukang ojek itu kepada teman-temannya.

Setelah mereka berdiskusi, akhirnya ada juga satu tukang ojek yang mau mengantarkan saya.

"Tiga ratus ya mas? soalnya jauh, jalannya jelek" tawarnya.

Waduh, tiga ratus ribu! Alamak, bisa bolak balik Muara Dua - Palembang dua kali itu.

Tetapi setelah dijelaskan oleh tukang ojek soal lamanya perjalanan dan kondisi medan yang cukup sulit akhirnya saya menyetujuinya.

Jalan berlumpur seperti ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di pedalaman Sumatera Selatan.

Deal. Ojek senang, saya juga senang, soalnya kan tinggal klaim biaya transportasi saja ke kantor, huehehe.

Ransel saya ditaruh di depan setelah sebelumnya diikat sedemikian rupa oleh tangan terampil tukang ojek yang belakang saya ketahui bernama Juki.

Bermula di Muara Dua, berangkatlah saya bersama pak Juki menuju sebuah desa di pedalaman Sumatera Selatan yang bernama desa Galang Tinggi, di Kecamatan Mekaku Ilir.


Nantinya dalam perjalanan, saya akan mampir sebentar di Danau Ranau, danau terbesar kedua setelah Danau Toba dengan Pulau Marisa di tengahnya.

Selain itu nanti juga banyak cerita menarik ketika berada di desa pedalaman. Dari cerita soal kehidupan petani kopi Semendo, mudahnya mencari ikan di sungai, banyaknya janda-janda usia dini, sampai saya dibuat jatuh cinta dengan salah satu gadis desa yang ada disana.

Ikuti terus cerita saya di pedalaman Sumatera Selatan ya! (bersambung ke Danau Ranau, Dilema Tempat Wisata di Pedalaman)

Pembaca - kalau suka dengan tulisan ini, silahkan tinggalkan komentar ya, di share di sosmed juga boleh banget. Terimakasih sudah membaca.

48 comments:

  1. Btw kepagian ya mas sampe mekakaunya. Jd gda transportasi. Untung pak sopirnya baik hehe.
    .
    Btw apa bener sering ada begal.?akubga kebayang bus malam ALS, itu gmn d jalan ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas pagi banget,. Emang bener mas banyak begalnya, terutama di jalan lintas sumatera. Waspadalaaah

      Hapus
    2. itu dia yg ngeri dari jalan lintas sumatera..
      harus dicobain nih jalan2 ke sumatera

      Hapus
  2. Emang mas kerja di mana ya? atau lebih tepatnya bagian apa? kayaknya seru banget dapat tugas dari kantor bisa ke daerah2 pedalaman gitu hahaha. Jadi pingin dapat kerjaan begitu jg daripada kerja fulltime di dalam gedung kantor.
    Itu jalan ke Mekakau mengingatkan saya waktu KKN dulu di pedalaman Bener Meriah, Aceh. Jalannya sama, bedanya menuju pedalaman Bener Meriah selain berlumpur jg naik turun bukit.
    Oh iya, hati-hati mas kalau dipedalaman kayak gt, bahaya kalau kita kepincut gadis desanya. Kalau salah satu jatuh hati sama mas, dia bisa minta dinikahin, apa lagi yg dtg org kota. Kecuali masnya emang berniat bawa pulang satu hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. di bagian tukang ngambilin data mas, buat survey-survey penelitian. Iya seru banget, bisa keliling pelosok-pelosok karena ya penelitiannya kebanyakan soal kesejahteraan rakyat sih. Wihh cerita waktu KKN di tulis di blog juga nggak mas? kayaknya seru tuh. Hahahaha, iya juga sih, bisa repot nanti ya kalau gadis desanya kepincut.

      Hapus
  3. oo may gad mas broh.. Makan ikan langsung di pinggir sungai itu kece badaih keknya..

    BalasHapus
  4. Wah.. Jadi inget dulu juga sering jalan ke daerah malang selatan daerahnya juga asri tapi yang susah jaga kondisi tubuh bro.. Sering sakit tengah perjalanan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau mau eksplor kondisi tubuh emang harus fit sih mas.

      Hapus
  5. Langsung tercengo cengo pas bacanya. Salam kenal Mas. Senang bisa mampir ke sini dan menemukan pengalaman seseru ini. Jauh banget perjalanannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha, makasih udah baca yaaa, semoga sering-sering mampir sini. Nanti aku kunjung balik.

      Hapus
  6. Ya ampun dalan apa swah kue...jian...

    Eh, itu di Kali Klawing ikan-ikan itu masih ada lho Kang? Sering dapet di kali Klawing dekat rumah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. apa iya kang? kali klawing bagian hulu ya? digawe tulisan lah kang, penasaran kiee, akuy tau mancing neng kali klawing tapi ra tau olih koh, haha

      Hapus
  7. lihat harga ojek 300k dengan medan jalan yang begitu,,,,,sebanding hahahaha, blekukan banget kue

    BalasHapus
    Balasan
    1. di banjar ga ada jalan lumpur ya mas hend? tapi aku pernah lewat jalan gunung wuled, walaupun nggak lumpur tapi medannya ekstrim. tapi kayaknya sekarang sih udah di aspal total ya.

      Hapus
  8. Wah lemak nian biso ke sano..lmyn brt jg transportasi ke sn ya? Btw dh icip pempek dan tempoyak blom bang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. lemak nian lah ini yuk. udah dooong, daaaan....aku nda suka tempoyak, wkwk

      Hapus
  9. waaah mas, welcome to the sumatra jungle :p. aku kdg kalo mudik ke sorkam, tapanuli, itu udh biasa ama jalannya yg aduhai :p. perjalananya kurleb 15 jam laah dr medan. tp.lama2 bisa nikmatin krn pemandangan kawasan sumatra itu masih asri kebanyakan. kalo palembang aku blm pernah sampe pedalaman. palingan cuma di kota. ga kebayang sih ya ama kontur jalan yg msh parah begitu :0. kalo melihat jalannya ancur, akupun ga bakal tega nawar ke ojeknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hwah yang punya sumatera dateng nih, ampun suhuuu. iya pemandangannya asik banget, ijo ijo semua. moga kapan2 aku bisa menikmati jalan khas tapanuli pedalaman, hehe

      Hapus
  10. waduh, gede banget satu kabupaten ya, mungkin karena tidak ada emekaran serta penduduk yang tidak padat.

    300 ribu? wuih lumayan itu, tapi ngeliat kondisi medan dan jauhnya jarak tempuh saya rasa setimpal sih. Ingin rasanya jalan-jalan sambil bantu sesama kek gini

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, luar biasa luas karena emang sih kepadatan penduduknya jarang. Tersebar tak merata jadi susah kalau mau dilakukan pemekaran.

      Hapus
  11. mas,mstine mampir Baturaja,(OKU) tanah kelahiran q,to start skrg sy domisili di Yk (Kalasan),rmh sy di Bta (warisan) kosong,rencana mau dikontrak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap pak, terimakasih infonya, nanti kalau ada waktu saya mampir deh, hehe

      Hapus
  12. ne no.tlp/wa sy 082115088810 (pak Jackson) sy jrang pulang klo plang sy jln darat (pk mobil),Yk,Bdg,Lampung,KotaBumi, Martapura,Bta.

    BalasHapus
  13. ceritanya greget Ms, ranau wajib banget dikunjungi, ikan bakarnya, hmmm sekali.

    BalasHapus
  14. Waduh jalannya. >.<
    Yang aku suka itu pas bakar-bakaran ikan, nampak maknyus hehe.

    Omnduut.com

    BalasHapus
  15. Palembang emang buat kangen dah untuk pulang kembali, disana ada sanak saudara yang juga ada yang tinggal di pedalaman, lokasi yang lumayan jauh juga, tapi kalau untuk kerumah saudara seneng banget lah ga ada rasa letih ataupun capek, apalagi bisa berkumpul besar bersama keluarga disana, palembang asik dah

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, kalau tujuannya ketemu saudara apalagi saudara yang dah lama gak jumpa pasti gak berasa capeknya.

      Hapus
  16. Wah Kak Abeng, perjalanannya panjang sekali ya. Perjalanan ke Mekakau Ilir dengan kondisi jalan seperti yang terlihat pada foto di pos ini, sungguh luar biasa hahaha pantesan Pak Juki minta harganya segitu. Dan Pak Jukinya baik, mungkin karena tahu kondisi jalan, lebih baik ranselnya diikat di bagian depan ketimbang menyusahkan penumpang dan dirinya :D Ditunggu kisah lainnya hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya pak juki is the best mbak, pelayanannya full service pokoknyaa. sampe sekarang masih sering kontak2an sama pak juki.

      Hapus
  17. ternyata gak lama lama amat yah terbang dari jogja ke Palembang, padahal jaraknya lumayan jauh

    BalasHapus
  18. Wah, jalannya mengerikan sekali. Sepertinya kalau jarang lewat akan sangat horor lewat situ ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. horror banget mbak, belum lagi kalau motornya kepleset, duh!

      Hapus
  19. Aku jadi penasaran gimana ceritanya bapak tukang ojeknya yang balik lagi ke pangkalannya.
    Sendiri, Mas? Apa masnya ikutan balik sama tukang ojeknya?
    Kalau aku jadi bapak ojeknya pas balik sendirian lewat jalanan yang begitu, bakal istighfar sepanjang jalan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya pak juki sendirian aja baliknya mba, kayaknya sih santai2 aja soalnya dia udah akrab kan sama daerah situ.

      Hapus
  20. Sumatera memang luas sekali, eksplor jauh-jauh ya. Jawa mungkin 3-4 jam dah sampai. Jadi eksplor Sumatera mungkin butuh waktu lebih lama...
    Sy belum pernah ke Palembang pedalaman. Pasti banyak spot bagus buat foto....

    BalasHapus
    Balasan
    1. banyak banget mbak, kalo penyuka wildlife ini pedalaman adalah surganyaa

      Hapus
  21. Hmm jalanan di pedalaman Sumatera Selatan masih berlumpur ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, berlumpur banget. harus pake roda khusus.

      Hapus
  22. Waduh Medan jalannya kok masih berlumpur seeprtsitu ya, mas?

    Keren nih perjalannperj..

    BalasHapus
  23. Jarak ke Mekkakau berapa KM mas dari tukang ojek pangkalan? Shock juga ojek dengan harga segitu. Dan lebih shock lagi, jalannya begituuuuuuuuu. Aduuuuhhhh. Yang tinggal di Jawa hambok bersyukur gitu, sodara kita yang di luar Jawa belum bisa menikmati pembangunan secara merata.

    Aku menunggu tulisan selanjutnya mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin ada sekitar 120 km an mas, tapi dg kondisi jalan yg agak parah, waktu tempuhnya jadi dua kali lipat dari normalnya. jangan ditunggu mas, nanti kecewa, wkwkwk

      Hapus
  24. Keren mas...terakhir dan pertama kalinya ke muara dua tahun 1999 ketika baru lulus esempe..tepatnya kalo gak salah daerah buay pemaca...jalannya memang luarbiasa...setelah baca artikel ini jadi pengen ke sono lagiπŸ˜€πŸ˜€

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayook kesono lagi masss, cerita itu sekitar 3 tahun yang lalu, mungkin sekarang sudah bagus fasilitasnyaa. Wajib kesana lagi!

      Hapus