Gunung
Lawu berada di di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, tepatnya berada
di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Perjalanan menuju gunung Lawu diawali
dari Yogyakarta, perjalanan kami menggunakan kendaraan bermotor dengan waktu
sekitar tiga jam. Rute dari Yogyakarta adalah Yogyakarta – Klaten – Solo –
Karanganyar – Tawangmangu. Basecamp pendakian Gunung lawu ada dua yaitu rute
Cemoro kandang yang berada di Tawangmangu, Karanganyar, dan Cemoro Sewu yang
berada di Jawa Timur.
Untuk yang baru belajar naik gunung bisa baca artikel Tips Mendaki Gunung
Nama asli gunung Lawu adalah Wukir Mahendra. Menurut legenda, gunung
Lawu merupakan kerajaan pertama di pulau Jawa yang dipimpin oleh raja
yang dikirim dari Khayangan karena terpana melihat keindahan alam
diseputar Gunung Lawu. Sejak jaman Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit pada
abad ke 15 hingga kerajaan Mataram II banyak upacara spiritual
diselenggarakan di Gunung Lawu. Hingga saat ini Gunung Lawu masih
mempunyai ikatan yang erat dengan Keraton Surakarta dan Keraton
Yogyakarta terutama pada bulan Suro, para kerabat Keraton sering
berjiarah ke tempat-tempat keramat di puncak Lawu.
|
Gerbang masuk Pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu |
Untuk
pemberangkatan, kami memilih rute Cemoro Sewu karena Jalurnya lebih cepat namun
lebih terjal. Pos retribusi cukup membayar tiga ribu per orang, sedangkan motor
kami titipkan di rumah penduduk dengan biaya titip sebesar lima ribu per motor.
Kami
berempat berangkat dari basecamp selepas adzan maghrib, jadi kondisi jalan
sudah gelap dan senter merupakan senjata utama kami. Kabut mulai turun dengan
dingin yang menembus jaket sampai ke tulang. Maklum saja, gunung Lawu
dinobatkan sebagai salah satu gunung ter-dingin di Pulau Jawa.
Di awal
perjalanan, jalan yang kami lalui masih jalan setapak menembus kungkungan
pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi didalam gelap. Kunang-kunang menari
kesana-kemari. Sudah lama saya tidak melihat kunang-kunang, apalagi di kota
seperti Yogyakarta. Saya selalu mempunyai keinginan untuk menangkap
kunang-kunang dan memasukannya kedalam botol, alih-alih sebagai pengganti
penerangan jikalau baterei senter sudah habis.
Beberapa penelitian menunjukan
kalau disuatu tempat terdapat kunang-kunang berarti tempat tersebut udaranya
bersih alias miskin polusi. Saya rasa benar juga, karena udara disini memang
sangatlah bersih, sampai-sampai hidung saya perih saat menghirup oksigen di
kaki Gunung Lawu ini.
Jalan
landai yang kami lalui tidak bertahan lama, karena sekitar satu setengah jam
perjalanan dari basecamp jalanan mulai menanjak. Jalanan berbatu dan berdebu
menjadi penantang kami. Seperti pada umumnya pendakian gunung, kami harus
melewati pematang sawah, lembah dan juga naik turun bukit. Saat berada diatas
bukit, terlihat pemandangan kota dibawah, sungguh indah gemerlap cahaya lampu
dari atas sini.
Kami beristirahat menyesuaikan kecapekan kami, jika kami merasa
capek maka kami akan beristirahat, tidak terburu-buru. Yang menjadi kendala
selama perjalanan ini adalah tidak adanya nama-nama pos-pos pendakian. Umumnya
disetiap jalur pendakian tersedia beberapa pos sebagai patokan lama tempuh
perjalanan. Namun di Gunung Lawu ini tidak ada plakat nama atau nomer pos,
padahal tempat-tempat yagyang bentuknya seperti pos itu banyak sekali.
Yang
membedakan Gunung Lawu dengan gunung-gunung lainnya adalah banyaknya warung
disepanjang jalur pendakian, terutama jalur Cemara sewu, karena jalur ini
merupakan jalur para peziarah. Namun sayangnya disaat pendakian kami, semua
warung tutup, hanya satu warung saja yang buka, yaitu di puncak.
|
Gubuk para peziarah Gunung Lawu |
Sebenarnya
jalur Cemara Sewu ini sudah dibuat tangga-tangga disepanjang jalur, namun
kondisinya sudah tidak terawat sehingga banyak yang rusak, selain itu tangganya
sangat terjal, sehingga tenaga begitu terkuras, alhasil frekuensi istirahat
kami sangat banyak. Setelah hamper 6jam perjalanan, kami sampai di pos 4,
tempatnya sangat kecil dan tepat di pinggir jurang. Untung saja tempatnya
tertutup oleh tebing dan semak sehingga angin tidak begitu mengganggu kami.
Tenda didirikan dan kamipun tidur pulas sampai pagi.
|
Mendekati Puncak Gunung Lawu |
Kami
tidak begitu antusias untuk menyaksikan sunrise
dari Gunung Lawu ini, jadi kami
bangun pukul 8 pagi, tutup tenda, dan mengemasi barang-barang kami terlebih
dahulu. Setelah ngopi dan ngerokok, kamipun melanjutkan perjalanan kami semakin
keatas. Semakin terjal juga jalan yang kami lewati. Semangat kami berkobar
karena semakin ke atas, pemandangan disekitar semakin indah.
Hal yang kami
sesali adalah, mengapa kami mendirikan tenda di pos 4 yang sempit itu, padahal
sekitar 45 menit berjalan dari pos 4 maka kami akan sampai di pos 5 yang
tempatnya lapang dan dan banyak tumbuh rerumputan yang pastinya bakal membuat
kami betah berlama-lama disitu. Tapi ya sudahlah, kami hanya dapat istirahat
sejenak disini.
|
Tanjakan Setan Di Gunung Lawu |
Jalan
setapak menjulur keatas sampai hilang dari pandangan kami. Pemandangan tersebut
selain indah juga agak menurunkan semangat kami, seraya berkata “Bajigur!”. Kami harus melewati satu
bukit lagi sebelum sampai di pos terakhir. Kami melewati sebuah petilasan yang
sepertinya inilah tujuan akhir dari para peziarah.
Petilasan tersebut merupakan tempatnya Eyang Sunan Lawu. Tempat bertahta raja terakhir Majapahit memerintah kerajaan Makhluk halus. Disamping petilasan atau
makam tersebut terdapat mata air yang katanya mata air keramat. Banyak dari
peziarah yang membawanya pulang untuk berbagai keperluan seperti pengobatan,
pagar diri, dll. Disekitar petilasan tersebut banyak berjejer warung-warung non
permanen dari bamboo/kayu namun sayangnya semuanya tutup.
|
Petilasan Sunan Lawu di Gunung Lawu |
Terdapat sebuah mata air yang disebut Sendang Drajad, sumber air ini
berupa sumur dengan garis tengah 2 meter dan memiliki kedalaman 2 meter.
Meskipun berada di puncak gunung sumur ini airnya tidak pernah habis
atau kering walaupun diambil terus menerus. Air sendang ini dipercaya
dapat memberikan mujijat bagi orang yang meminumnya. Juga terdapat
bangunan yang berupa bilik-bilik untuk mandi, karena para pejiarah
disarankan untuk menyiram badannya dengan air sendang ini dalam hitungan
ganjil.
Juga ada sebuah gua yang disebut Sumur Jolotundo menjelang puncak, gua
ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam 5 meter.
Gua ini dikeramatkan oleh masyarakat dan sering dipakai untuk bertapa.
Sumur ini berupa lubang bergaris tengah sekitar 3 meter. Untuk turun ke
dalam sumur harus menggunakan tali dan lampu senter karena gelap. Di
dalam sumur terdapat pintu goa dengan garis tengah 90 cm. Konon di dalam
sumur Jolotundho ini sering digunakan untuk bertapa, dan digunakan
guru-guru untuk memberi wejangan/pelajaran kepada muridnya.
Dari
petilasan menuju pos terakhir terdapat beberapa bangunan permanen yang
ukurannya lumayan besar, hamper menyerupai sebuah aula. Mungkin bangunan
tersebut difungsikan sebagai tempat inap para peziarah. Nah, pos terakhir ini
ditandai dengan berdirinya sebuah warung yang bernama “Hargo dalem, Warung Mbok
Yem” hanya satu warung ini yang tetap buka sepanjang waktu.
Yang punya warung
ini adalah seorang nenek yang dipanggil Mbok Yem, namun pada saat kami kesana,
si “mbok” ini sedang turun gunung, yang menjaga warungnya adalah seorang pria
paruh baya yang tampaknya merupakan putra dari Mbok Yem. Seorang nenek-nenek naik-turun
gunung dengan begitu mudahnya??? Kami yang masih muda seperti ini saja sudah
kepayahan saat naik gunung, benar-benar hebat!
|
Satu-satunya warung yang berada di Puncak Gunung Lawu |
Terdapat padang rumput pegunungan banjaran / Festuca nubigena yang
mengelilingi sebuah danau gunung di kawah tua menjelang Pos terakhir
menuju puncak pada ketinggian 3.200 m dpl yang biasanya kering di musim
kemarau. Konon pendaki yang mandi berendam di tempat ini, segala
keinginannya dapat terkabul. Namun sebaiknya jangan coba-coba untuk
mandi di puncak gunung karena airnya sangat dingin. Rumput yang tumbuh
di dasar telaga ini berwarna kuning sehingga airnya kelihatan kuning.
Telaga ini diapit oleh puncak Hargo Dumilah dengan puncak lainnya. Luas
dasar telaga Kuning ini sekitar 4 Ha.
Puncak
lawu berjarak setengah jam dari warung, menaiki satu bukit terakhir yang
lumayan terjal jalannya. Pemandangan dari puncak terlihat kurang sempurna karena tertutup awan,
namun kami cukup puas dengan penaklukan ini. Puncak Argodumilah pada saat tertutup awan sangat indah, kita
menyaksikan beberapa puncak lainnya seperti pulau - pulau kecil yang
dibatasi oleh lautan awan, kita merasa berada di atas awan-awan seperti
di kahyangan.
Baca Juga Catatan Perjalan Mendaki Gunung Sindoro, Merapi, dll.
Bila udara bersih tanpa awan kita bisa melihat Samudera
Indonesia. kita dapat melihat pantulan matahari di Samudera Indonesia,
deburan dan riak ombak Laut Selatan sepertinya sangat dekat. Sangat
jelas terlihat kota Wonogiri juga kota-kota di Jawa Timur. Tampak waduk
Gajah mungkur juga telaga Sarangan. Setelah dirasa cukup menikmati
puncak lawu, kami turun kembali ke warungnya simbok Yem untuk menikmati nasi
pecel ala puncak Lawu dengan segelas teh manis hangat.
Kami
turun lewat jalur Cemara Kandang, Jalurnya mudah namun cukup jauh. Jalurnya
dibuat melingkar, jadi tidak begitu terjal. Satu hal yang kami sangat
berhati-hati di gunung Lawu ini adalah, tidak menyakiti burung jalak yang ada
di gunung ini. Hampir sepanjang perjalanan, pasti kami selalu ditemani oleh
burung-burung jalak ini, yang menurut mitos merupakan penunggu gunung ini.
Burung tersebut katanya akan selalu menemani dan mengawasi kita sepanjang
perjalanan. Jika kita menyakiti burung tersebut atau menangkapnya, maka kita
akan mendapatkan kutukan. Percaya atau tidak, terserah anda. Hal tersebut masih
dapat saya maklumi, mungkin mitos tersebut bertujuan untuk melindungi burung
tersebut dari ancaman pemburu liar. Karena larangan yang paling dipatuhi oleh
orang Indonesia adalah larangan berbasis pamali
atau mitos dan legenda.
Goodbye Lawu, goodbye warung Mbok
Yem, goodbye burung jalak.