Januari 20, 2019


Bagi yang sudah pernah mendaki gunung Arjuno pasti sudah tidak asing lagi dengan cerita mistis mengenai hutan yang bernama Lali Jiwo ini. 'Lali Jiwo' secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti 'lupa diri' atau 'lupa jiwa'.

Sering kita dengar cerita bahwa jika kita melanggar pantangan-pantangan tertentu maka kita akan tersesat di Hutan Lali Jiwo. Hal ini tidak lepas dari banyaknya berita pendaki yang tersesat ketika memasuki kawasan hutan Lali Jiwo. Mereka seakan lupa soal arah kemana mereka akan pergi dan dari mana mereka datang sehingga akhirnya dikaitkan dengan asal muasal nama Lali Jiwo itu sendiri.


Hutan Lali Jiwo dominan ditumbuhi pohon pohon pinus dengan jarak antar vegetasi yang cukup lebar. Jarak antar pohon yang tidak rapat ini membuat jalur pendakian mudah luput dari penglihatan karena tersamarkan dengan jalur liar (jalur air, jalur hewan, dsb), sehingga untuk pendaki yang kurang konsentrasi akan mudah tersesat.
Banyaknya cerita soal pendaki tersesat itu memicu munculnya sebuah mitos bahwa hutan tersebut dinamakan 'Lali Jiwo' karena mampu membuat orang hilang kesadaran dan seakan di hipnotis oleh makhluk halus sehingga melupakan jiwanya sendiri. Benarkah demikian?

Peta Gunung Arjuno zaman Hindia-Belanda

Sayangnya, sejarah berkata lain. Menurut situs sejarah Belanda javapost.nl, 'Lali Djiwo' bukan dinamai oleh orang Jawa, melainkan oleh seorang Skotlandia yang bernama Duncan de Clonie MacLennan.

Lalidjiwo awalnya merupakan nama sebuah pondok persinggahan. Letak pondokannya berada di tengah hutan, jauh terisolasi dari peradaban.

Dia ingin menamai pondokannya itu dengan nama yang putis, 'Vergeet uw Ziel' dalam bahasa belanda, atau 'Forgotten Soul' dalam bahasa inggris. 

Namun akhirnya MacLennan berubah pikiran dan menggunakan bahasa lokal sehingga diterjemahkannya menjadi 'Lali Djiwa', atau jiwa yang terlupakan (bukan diartikan sebagai 'lupa diri'), karena lokasi pondokannya yang sangat terisolir dan seakan terlupakan.
Sejarah Sebenarnya Nama Hutan 'Lali Jiwo'.

Perjalanan menuju pondok Lali Djiwa menggunakan kuda

MacLennan merupakan seorang pekerja di perusahaan dagang Fraser Eaton di Surabaya. Ia membeli tanah yang cukup luas di lereng Gunung Arjuno, dan membuatnya menjadi sebuah perkebunan yang menanam berbagai komoditas.

Awalnya, MacLennan hanya mengunjungi perkebunannya itu pada waktu liburan saja, terutama saat cuaca di Surabaya sedang panas-panasnya. Setelah keluar dari perusahaannya, ia kemudian menetap di tanah perkebunannya di Tretes bersama Anna Kovacic - istrinya yang seorang penari asal Austria.


Selain sebagai pedagang dan tuan tanah, MacLennan juga merupakan pemburu andal. Setiap pekan ia masuk ke dalam hutan, mencari binatang buruan, dan membawa hasil buruan ke rumahnya di Tretes.
Baca juga: Sejarah Pulau Belakang Padang, Dari Bajak Laut Malaka Sampai Jadi Penawar Rindu
Dikarenakan jarak tempat berburu ke Tretes cukup jauh, ditambah medan yang cukup sulit, MacLennan akhirnya memutuskan membangun pondok persinggahan di lereng Gunung Arjuno pada ketinggian 2500 meter, jauh dari Tretes, dan pondokan tersebut diberi nama Lali Djiwa, seperti yang sudah dijelaskan di atas.

MacLennan kemudian membangun jalur pendakian dari Tretes ke pondok Lali Djiwa tersebut dan mempromosikan wisata berburu ke warga kulit putih yang berada di Surabaya. Hanya dalam beberapa bulan, Lali Djiwa menjadi destinasi populer di kalangan masyarakat kulit putih Jawa Timur.

Wisatawan Belanda mendaki puncak Gunung Arjuno ditemani seorang pemandu lokal 

Tahun 1903, Koninklijke Paketvaart Maatschappij - sebuah perusahaan biro perjalanan Belanda - menulis;

"Kami menunggang kuda ke Lali Djiwa, sekitar empat jam jalan kaki dari Tretes. Dari sana kami berjalan kaki mendaki ke kawah Gunung Arjuno. Perjalanan kembali tidak butuh waktu lama, sehingga kami bisa mencapai hotel di Prigen sebelum gelap. Jika banyak waktu, datanglah dan menginap di Lali Djiwa sebelum sore dan nikmati indahnya matahari terbenam. pada dini hari jam tiga pagi, naiklah ke puncak gunung diterangi cahaya bulan dan obor untuk menikmati indahnya matahari terbit."

Lali Jiwo Sebagai Tempat Wisata Bule Belanda

Pengunjung pondok berpose dengan kuda dan dua pemandu lokal

Sebelumnya, Prigen dan Tretes cukup sulit untuk dicapai, namun hal ini berubah pada awal abad ke 20. Adanya pembangunan jalan baru dan maraknya kepemilikan mobil pribadi membuat jarak dari Surabaya ke Prigen dan Tretes semakin dekat dan mudah di akses.

De Indische Courant, koran berbahasa Belanda terbitan 1928, menulis; 

"Banyak pekerja Belanda yang pensiun dan ingin menghabiskan waktu bersantai, serta semakin banyak pula janda-janda dengan harta tinggalan suami mereka membuat Tretes semakin ramai dengan villa-villa baru. Lambat laun hutan belantara tersebut berubah menjadi desa kecil yang penuh dengan pondokan, hotel, penginapan untuk orang kulit putih berlibur."

Villa-villa itu disewakan ke orang-orang kaya, atau digunakan sendiri setiap pekan. Pengunjung yang tidak kebagian villa akan memadati pondokan dan peginapan.

Warga lokal banyak yang menjadi pekerja di villa dan penginapan, menyewakan kuda kuda mereka, atau menjadi pemandu anak-anak kulit putih berkuda.

Direktur Hogere Burgerschool (HBS) Surabaya berkunjung ke Lali Djiwa 

Koran-koran Belanda banyak menulis tentang Tretes dan Prigen sebagai verrukkelijke, atau resor pegunungan, dan menyerukan kepada pemerintah Belanda untuk membangun akses jalan yang lebih baik.

Lali Djiwa juga kian populer sebagai resort terfavorit, tetapi sayangnya MacLennan tidak sempat menyaksikannya. McLennan meninggalkan Istri dan ahli warisnya yang terus tinggal di Lali Djiwa sampai meninggal pada tahun 1929.

Kepopuleran Lali Djiwa dan MacLennan sampai ke pers Austria pada tahun-tahun sejak kematian istrinya, Kovacic. Salah satu tulisan di media Austria mengimbau perlunya pelacakan ahli waris MacLennan-Kovacic. Pelacakan tersebut membutuhkan waktu lama, dan melibatkan banyak orang, namun sayang tidak membuahkan hasil.

Gunung Arjuno dilihat dari pondok Lali Djiwa.

Pers Belanda menulis, bahwa ahli waris MacLennan-Kovacic kemungkinan telah menjual Lali Djiwa ke pemerintah Belanda, setelah bertahun-tahun tinggal di pondok itu.

Memasuki tahun 1940an, beredar kabar bahwa akan dibangun sebuah jalan mobil menuju pondokan Lali Djiwa. Situasi ini mengkhawatirkan sebagian penduduk Hindia-Belanda.

Seorang pembaca De Indische Courant menulis; "Saya yakin siapa pun setuju dengan saya bahwa Lali Djiwa tidak akan bisa lagi disebut Lali Djiwa ketika mobil dapat dengan mudah mencapai tempat ini. Lereng gunung tidak lagi sepi, tapi bising oleh klakson mobil.

Lali Djiwa bukan lagi tempat yang membuat orang lupa diri, bukan lagi menjadi jiwa yang terlupa. Satu-satunya resor gunung yang terisolasi akan hilang, dan menjadi kawasan wisata yang biasa-biasa saja"

Rencana pembangunan jalan tersebut di urungkan oleh Pemerintah Belanda karena situasi perang kemerdekaan. Lali Djiwa sebagai resor yang menawarkan keindahan alam benar-benar tidak terdengar lagi kabarnya setelah Belanda hengkang dari Indonesia.

Tahun 1960, Hein Buitenweg menulis di Moonsoon; "Saya bertanya-tanya apakah pondok dengan nama puitis, dikelilingi pohon cemara, dan pohon mawar di halamannya, masih ada."

Hutan Lali Jiwo sekarang, dari sebuah resort indah menjadi tempat keramat penuh cerita mistis (sumber foto: @mahardika_bayek1946/instagram)

Perlahan-lahan, seiring berlalunya waktu, hutan disekitar pondokan tersebut dikenal dengan nama Hutan Lali Jiwo.

Dari yang dulunya terkenal sebagai sebuah resort terpencil dengan keindahan wisata alamnya, sekarang berubah jadi tempat mistis yang penuh dengan cerita misteri.

Sampai sekarang belum ditemukan bekas pondokan Lali Djiwa tersebut, apakah sudah hancur atau masih tersembunyi dalam lebatnya hutan dan terlupakan dari ramainya peradaban serta ingatan orang-orang, seperti namanya, 'Lali Jiwo'.
... 

Sumber bacaan dan foto :
javapost.nl (artikel asli dalam bahasa belanda; Lali Djiwo: Vergeet Uw Ziel)

14 comments:

  1. Saya belum pernah naik gunung, tulisan ini menarik

    BalasHapus
    Balasan
    1. kamu harus naik gunung mas, minimal sekali seumur hidup

      Hapus
  2. saya harus kesini nih mas bro... keren tempatnya keknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. harus bro, wajib, tapi jangan kesini doang, ke Gunng Arjunonya juga dong

      Hapus
  3. Bisa jadi, Lali Jiwo merupakan sebuah upaya untuk melestarikan alam Gunung Arjuno. Beberapa cerita menyebutkan, orang zaman dulu kerap menganggap tempat-tempat tertentu sebagai tempat keramat dan penuh mistis. Padahal, secara logika, bisa jadi mereka ingin melestarikan suatu tempat agar tidak dijamah orang. Misalnya pohon besar yang di bawahnya menyimpan sumber air. Atau hutan disitigmakan sebagai hutan angker agar ekosistem hutan tersebut dapat terus berlangsung...

    Kira-kira kaya kuelah Kang?

    Haha...salam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bener kang, biasanya kalo yang dikaitkan dengan cerita mistis ya untuk melindungi tempat itu dari tangan2 jahil tak bertanggung jawab

      Hapus
  4. Bagus ceritanya mas.. Dekat rumah saya tapi saya gak berani mendaki.. Hehe..

    BalasHapus
  5. Keren cerita sejarah villa yang namanya kedengaran menyeramkan ini, Lali Jiwo ...

    Kalau keindahannya sampai pernah diulas di surat kabar dan bukti foto2 memang ada seperti itu ..., berarti villa lenyap karena rusak karena tak terawat.
    Dan sepertinya ..., memang terlihat spooky.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau menurut analisisku sih, karena sudah tidak terawat lagi akhirnya kayu2 villa lali jiwo di ambil oleh masyarakat setempat sampai tak berbekas lagi

      Hapus
  6. saya memnita ijin untuk share artikel ini di blog social media saya

    BalasHapus
  7. Dulu rumahnya pernah dimanfaatkan gerombolan maling, akhirnya rumah tsb dihancurkan warga, sayang sekali sebetulnya, saya warga asli Tretes

    BalasHapus