Januari 16, 2015



Daerah timur Indonesia masih sangatlah jauh dari kata maju, salah satunya adalah Pulau Sumba. Hal ini berdasarkan pengamatan saya selama dua bulan tinggal di Pulau Sumba dalam rangka melakukan pengambilan data untuk sebuah riset tentang kesehatan dan pendidikan masyarakat. Penelitian tersebut di prakarsai oleh Pusat Kebijakan dan Pendidikan Universitas Gajah Mada. 


Lokasi pengambilan data berada di Kabupaten Sumba Barat Daya. Hampir semua kecamatan dan daerah-daerah terpencil saya kunjungi. Suka-duka cerita masyarakatnya hampir setiap hari saya dengarkan.


Bermodalkan baju lapangan, sepatu boots, co-card, dan quesioner, penduduk mengira saya orang dari pusat yang akan membawa bantuan kepada mereka. Semua pertanyaan dan keluh kesah, mereka sampaikan kepada saya.

Sumba Barat Daya merupakan sebuah kabupaten yang baru saja mekar dari Kabupaten Sumba Barat. Pusat kotanya tidak lebih besar dan lebih maju dari pusat kecamatan yang ada di Purbalingga, sebuah kota kecil di kaki Gunung Slamet tempat kelahiran saya. 


Salah satu penyebab dari ketertinggalan ini adalah aksesibilitas antar provinsi, antar kabupaten, sampai antar daerah terpencil masih sangat jauh dari kata memadai. Padahal, aksesibilitas merupakan faktor penting dalam pengembangan sebuah kota. 



Baru pertama kali disini saya mendengar nama 'jalan pengerasan'. Sebuah nama yang merujuk pada jalan tanah yang dikeraskan dengan batu kapur, Mungkin perbandingan antara jalan pengerasan dan jalan aspal di SBD ini kurang lebih 70 : 30. Lebih banyak jalan pengerasan ketimbang jalan aspal.

Saya tidak tau apa jadinya kalau kabupaten ini tidak jadi mekar dan masih berada di bawah pemerintahan Kabupaten Sumba Barat. Mungkin hampir 90% masih jalan pengerasan.

Masyarakat Sumba yang penuh kekeluargaan
Keadaan geografis Pulau Sumba hampir sama dengan keadaan geografis Kabupaten Gunung Kidul. Tanahnya dominan batu kapur dan karang sebagai bukti bahwa sebagian wilayah Pulau Sumba merupakan hasil dari pengangkatan bawah laut.

Kondisi tanahnya gersang dan kering, sehingga hanya bisa ditumbuhi umbi-umbian. Satu-satunya daerah subur adalah Kecamatan Wewewa yang merupakan dataran tinggi dengan tanah gembur dan iklim yang basah. Pertama mendengar kata Wewewa saya tersenyum sendiri, namanya begitu aneh, kalau dibaca jadi Wejewa.

Pertama kali menginjakan kaki di pulau Sumba pandangan mata saya selalu tertuju kepada orang-orang yang membawa parang dijalanan. Hampir setiap laki-laki di Sumba pasti membawa parang jika keluar rumah. 

Alasan utama adalah karena adat-istiadat yang mengharuskannya begitu. Yang kedua adalah untuk bekerja. Orang Sumba mayoritas bekerja sebagai pekerja ladang atau kebun, jadi, membawa parang merupakan suatu keharusan. Yang ketiga adalah sebagai sarana jaga diri karena di Sumba masih sering terjadi perang antar suku.

Saya bahkan diberi parang oleh salah satu warga gara-gara saya menanyakan berapa harga parang dipasar. Bukannya dijawab, dia malah menawarkan parang bergagang tanduk miliknya untuk saya.

Titik tertinggi di Wewewa Selatan, setelah gunung Yawila
Kain tenun juga tidak lepas dari keseharian orang Sumba, dimanapun pada acara apapun pasti mereka mengenakan kain tenun.

Untuk laki-laki, mereka mengenakan kain ikat dan selendang. Kain ikat gunanya untuk dililitkan di pinggang sementara kain selendang sebagai ikat kepala. Untuk perempuan, mereka mengenakan kain sarung yang berfungsi sebagai rok. 


Kain adat sumba kebanyakan berwarna cerah. Masing-masing daerah punya motif sendiri-sendiri. Motif tenun Sumba yang menurut saya paling bagus adalah motif tenun dari Kabupaten Sumba Timur.


Sementara untuk Kabupaten Sumba Barat Daya, motif tenun yang paling bagus berasal dari Kecamatan Kodi. Motif tenun dari kodi ini lebih indah dan berwarna dibandng dengan motif tenun dari kecamatan lainnya. 

Kain tenun khas Sumba tersedia di pasar dan juga toko-toko souvenir. Harganya hampir sama. Jika ingin kain tenun yang harganya agak murah bisa langsung mendatangi penenunnya.

Beberapa hari sebelum pulang, saya menghabiskan waktu seharian penuh untuk berburu kain tenun ini. 


Hampir semua penenun bekerja secara rumahan dan cukup mudah ditemukan di desa-desa karena mereka menenun di depan rumah.


Harga kain selendang (ikat kepala) berkisar antara puluhan ribu sampai ratusan ribu, tergantung warna dan kerumitan motifnya. Sementara untuk kain bahan yang dijual per meter, harganya ratusan sampai jutaan.

Keindahan kain tenun khas Sumba membuatnya pernah menjadi kain favorit pada pameran sebuah pameran tekstil tradisional bertaraf internasional yang diselenggarakan di Prancis beberapa tahun lalu.

Entah berapa kali saya mendengarkan keluh kesah dari masyarakat. Keluhan tersebut mulai dari masalah kesehatan, dimana pelayanan kesehatan yang tidak memadai, jauh, dan kekurangan tenaga ahli.

Kemudian ada permasalahan mengenai pendidikan yang memprihatinkan. Gedung sekolah yang bobrok, guru yang jarang berangkat, fasilitas sekolah yang jauh dari kata layak, dan lain sebagainya.

Namun menurut saya, masalah yang paling krusial di Sumba Barat Daya dan mungkin di seluruh Pulau Sumba adalah masalah tentang terikatnya mereka terhadap adat-istiadat budaya mereka.

Bayangkan, untuk kematian anggota keluarga mereka bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta  hanya untuk penyembelihan hewan ternak seperti babi dan kerbau.

Dalam hal pernikahan, mereka juga harus menyiapkan bilis atau mas kawin yang harganya tidak murah. Pada setiap acara kematian, selain anggota keluarga yang ditinggal mati, kerabat juga datang membawa hewan-hewan ternak untuk disumbangkan. Semakin banyak hewan ternak yang ada pada upacara kematian tersebut maka semakin naik harga diri  dan derajat sosial mereka.

Sumbangan tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, tapi harus dibayar balik dengan nilai yang sama atau lebih tinggi jika salah satu anggota keluarga penyumbang meninggal dunia.

Tidak heran jika setiap rumah tangga disini punya hutang berjuta-juta kepada kerabat mereka. Keadaan ini membuat sebagian besar masyarakat Sumba tinggal dalam kemiskinan.

Sebenarnya sudah banyak orang Sumba yang sadar akan bom waktu adat istiadat mereka. Namun mereka tidak bisa melakukan apa apa. 

Banyak dari orang Sumba yang menikah dengan orang dari luar Sumba hanya untuk menghindari adat semacam ini. Bupati Sumba Barat dulu juga pernah menerapkan peraturan minimal hewan ternak yang harus di korbankan, namun gagal karena adat yang begitu ketat. Bayangkan, kuburan mereka bahkan jauh lebih bagus daripada rumah tempat tinggalnya.


Salah satu pantai "perawan" yang belum ada namanya di Kecamatan Loura. Tidak ada wisatawan kecuali saya dan tiga orang teman serta beberapa nelayan.
Banyak daerah berpotensi wisata di Sumba Barat Daya yang bagus dan belum banyak diketahui wisatawan. Sumba merupakan daerah yang sangat eksotis.

Ke-eksotisan itu terlihat dari banyaknya pantai-pantai dengan pasir putih yang bersih dan indah. Kemudian ada padang savana dan bukit-bukit yang luas bak di afrika.

Jika menuju ke dataran tinggi maka akan disambut oleh hutan hujan tropis dengan kanopinya yang menjulang tinggi menanti kita dengan flora-fauna endemiknya.

Banyak pantai, banyak air terjun, banyak wisata budaya, dan banyak sungai-sungai yang indah, namun sayangnya belum ada pengelolaan yang serius oleh pemerintah setempat. 

Untuk pantai, kecamatan Kodi adalah surganya dengan pantai Pero, Mandorak, Bondokawango, Ratenggaro, Danau Weekuri, dll.

Untuk wisata dataran tinggi, Wewewa adalah rajanya. Masih banyak sekali pengalaman yang saya dapatkan selama dua bulan di Sumba, yang ceritanya bisa kalian simak dibawah ini :

1. Pantai Kawona, Pantai Perawan Yang Sunyi Senyap di Sumba Barat Daya

2. Danau Weekuri, Hidden Paradise Pulau Sumba


3. Pantai Mandorak, Surga Kecil di Balik Batu Karang


4. 
Melihat Kepercayaan Marapu di Kampung Adat Manola, Tena Teke, Sumba

5. 
Senja di Pantai Pero Kodi, Sumba Barat Daya



Satu kesan yang begitu mendalam bagi saya adalah, jangan tertipu wajah garang mereka, karena sebenarnya mereka sangat-sangatlah ramah, polos dan apa adanya.

Walaupun adat-istiadat mengekang dan menerpurukan mereka, itulah pengorbanan mereka dalam melestarikan budaya leluhur. Suka, duka, mereka tetap tersenyum.

Mungkin dari semua jenis orang yang pernah saya temui, orang Sumba adalah yang paling ramah.

Memang kebahagiaan itu relatif...



Keywords : Sumba, Sumba Barat Daya, Wisata Di Sumba, Budaya Sumba, Pantai Di Sumba, Pendidikan Sumba, Kesehatan Sumba, Orang Sumba, Adat-Istiadat Sumba

Post a Comment: