Tampilkan postingan dengan label Purbalingga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Purbalingga. Tampilkan semua postingan
Juli 14, 2018
Juli 13, 2018
Ziarah Kuburan Belanda, Kerkhof 'Stana Landa' Purbalingga
Juli 13, 2018
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Wisata Sejarah,
Mungkin meninggal karena sakit, dan yang jelas orangtuanya pasti lah sangat sedih dengan kepergian anak bayinya itu sehingga untuk mengenangnya dibuatlah batu nisan yang cukup mewah berbentuk tugu kecil yang langsung menarik perhatian saya ketika memasuki area kerkhof ini.
Continue Reading
Februari 02, 2016
Seramnya Kuntilanak Dibalik Indahnya Bukit Ayu di Kaki Gunung Slamet
Februari 02, 2016
Gunung,
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Wisata Alam,
Masih di sekitar Purbalingga, jadi mumpung saya lagi mudik maka saya sempatkan untuk menjelajah tempat-tempat yang belum terjamah di daerah Purbalingga untuk menggali potensi-potensi pariwisata di kota Purbalingga ini supaya industri pariwisatanya semakin maju.
Mbolang kali ini, saya di temani tiga orang ekpslorer Purbalingga yang sudah malang melintang di ranah petualang Purbalingga yaitu Jipeng, Ole, dan Fito. Tujuan kali ini sebenarnya adalah Gunung Kelir yang terletak di kaki Gunung Slamet. Bukan gunung sih, hanya bukit yang terlihat menantang langit dari jalan, membayangi kebun-kebun strawberry disekitarnya.
Malam minggu, sehabis Isya kami berangkat dari Purbalingga menuju Desa Serang, Pratin, Purbalingga. Kalau kalian mau kesini, tempatnya dekat dengan Basecamp Bambangan Gunung Slamet, tapi Basecamp Gunung Slamet masih keatas lagi. Jalannya nanjak terus, sesekali ada jalan turunan, sekedar menghibur mesin motor yang sudah meraung-raung.
Sekitar 45 menit perjalanan dari Purbalingga, terlihatlah deretan pohon pinus dan cemara sepanjang kanan kiri-kanan jalan. Sepi tidak ada orang.
Didepan terlihat nyala kemerahan dari lentera sebuah warung di antara hutan pinus. Warung itu ternyata lumayan ramai, ada beberapa bapak-bapak yang sedang bersenda gurau sambil sesekali merayu mbak-mbak si penjaga warung, lumayan cantik dan bahenol sih tuh mbak-mbaknya, hehe. Kami hampiri warung itu dan memesan secangkir jahe susu ditemani tempe mendoan untuk mengobati hawa dingin yang menusuk menembus jaket kami..brrr.
Pemandangan dari atas bukit |
Sambil menyeruput
jahe susu yang kental, kami bertanya kepada bapak-bapak disitu mengenai
Arah memulai pendakian Gunung Kelir. Ealah ngga disangka bapak tersebut malah
menceritakan cerita-cerita horor mengena Gunung tersebut. “Gunung kelir toli akeh medine mas, yakin, ngono kue sarange kuntilanak”
(“Gunung kelir itu banyak setannya mas, yakin, disitu itu sarangnya
kuntilanak”), kata bapak itu dengan muka serius dan tangan yang
mengacung-ngacung ke arah siluet Gunung Kelir yang tampak dari belakang warung.
“Tapi nek arep munggah ya ora papa ngonoh, ngko ati-ati aja njagongi kayu mati nang dalan ya, karo aja turonan nang ngisor wit, laju bae pokoke, tapi kie kayane arep udan lho mas” (Tapi kalau memang mau naik ya tidak apa-apa, nanti hati-hati, jangan menduduki kayu mati yang sudah roboh dan jangan tiduran atau duduk-duduk di bawah pohon, pokoknya jalan terus, tapi kayaknya mau hujan ini mas”). Walah, bisa mengendorkan semangat kami ini perkataan bapak-bapak ini.
Kami masih terus ngobrol-ngobrol mengenai arah menuju Gunung ini dan harus dimulai dari mana, sesekali obrolan politik pun diselipkan sebagai penyegar.
“Tapi nek arep munggah ya ora papa ngonoh, ngko ati-ati aja njagongi kayu mati nang dalan ya, karo aja turonan nang ngisor wit, laju bae pokoke, tapi kie kayane arep udan lho mas” (Tapi kalau memang mau naik ya tidak apa-apa, nanti hati-hati, jangan menduduki kayu mati yang sudah roboh dan jangan tiduran atau duduk-duduk di bawah pohon, pokoknya jalan terus, tapi kayaknya mau hujan ini mas”). Walah, bisa mengendorkan semangat kami ini perkataan bapak-bapak ini.
Kami masih terus ngobrol-ngobrol mengenai arah menuju Gunung ini dan harus dimulai dari mana, sesekali obrolan politik pun diselipkan sebagai penyegar.
Jahe Susu sudah
habis sampai tetes terakhir, dan benar juga, ternyata hujan turun, walaupun
Cuma gerimis tapi cukup deras. Kami berpamitan dengan gerombolan bapak-bapak
genit yang humoris ini untuk segera menuju ke lokasi awal pendakian.
Motor kembali melaju, mendaki jalanan aspal yang mulus dengan kebun kobis dan strawberry menggantikan hutan pinus di sepanjang sisi jalan. Disebuah pertigaan yang terdapat satu pohon besar, kami jalan lurus sampai mentok tidak ada jalan lagi. Disitu ada sebuah rumah bercat kuning dengan lampu teras yang lumayan terang, niatnya kami akan menitipkan motor di rumah tersebut.
Kami langsung melangkah menuju teras dan mengetok pintu rumah tersebut. Seorang bapak berkumis lebat muncul dari balik pintu ditemani putrinya yang masih kecil dan imut-imut. Kami mengatakan maksud kedatangan kami sambil minta ijin berteduh sampai hujan reda.
Cerita horor kembali keluar, si Bapak mengatakan kalau gunung itu memang banyak kuntilanaknya, dan katanya juga medannya sulit, jarang sekali ada yang iseng-iseng ingin naik kesana. Aaaaah tidaaak… Suasana horor seperti diamini oleh rintik hujan yang tak kunjung reda. Dengan pertimbangan yang matang dan saran dari bapak itu, maka kami putuskan untuk menunda pendakian pada esok harinya.
Untuk menghabiskan malam, kami menginap di basecamp Bambangan, Gunung Slamet yang hanya berjarak 15 menit dari situ. Di basecamp ternyata banyak pendaki yang baru akan naik Gunung Slamet. Karena sudah kenal dengan si mbok Basecamp, kami langsung dibuatkan kopi hitam, dan langsung menggelar matras dan sleeping bag, ngobrol-ngobrol sebentar dengan pendaki-pendaki yang ada disitu kemudian lanjut tidur.
Motor kembali melaju, mendaki jalanan aspal yang mulus dengan kebun kobis dan strawberry menggantikan hutan pinus di sepanjang sisi jalan. Disebuah pertigaan yang terdapat satu pohon besar, kami jalan lurus sampai mentok tidak ada jalan lagi. Disitu ada sebuah rumah bercat kuning dengan lampu teras yang lumayan terang, niatnya kami akan menitipkan motor di rumah tersebut.
Kami langsung melangkah menuju teras dan mengetok pintu rumah tersebut. Seorang bapak berkumis lebat muncul dari balik pintu ditemani putrinya yang masih kecil dan imut-imut. Kami mengatakan maksud kedatangan kami sambil minta ijin berteduh sampai hujan reda.
Cerita horor kembali keluar, si Bapak mengatakan kalau gunung itu memang banyak kuntilanaknya, dan katanya juga medannya sulit, jarang sekali ada yang iseng-iseng ingin naik kesana. Aaaaah tidaaak… Suasana horor seperti diamini oleh rintik hujan yang tak kunjung reda. Dengan pertimbangan yang matang dan saran dari bapak itu, maka kami putuskan untuk menunda pendakian pada esok harinya.
Untuk menghabiskan malam, kami menginap di basecamp Bambangan, Gunung Slamet yang hanya berjarak 15 menit dari situ. Di basecamp ternyata banyak pendaki yang baru akan naik Gunung Slamet. Karena sudah kenal dengan si mbok Basecamp, kami langsung dibuatkan kopi hitam, dan langsung menggelar matras dan sleeping bag, ngobrol-ngobrol sebentar dengan pendaki-pendaki yang ada disitu kemudian lanjut tidur.
Tingkatan jenis vegetasi Gunung Slamet yang dengan jelas terlihat dari Bukit Ayu |
Paginya ketika
fajar baru nampak setengah, kami meluncur ketempat kemarin, memarkirkan motor
dan pamit dengan si empunya rumah. Cerita berhantu tentang kuntilanak yang semalam kami dengarkanpun sirna seiring dengan bersahabatnya mentari pagi ini.
Pendakian diawali dengan menaiki bukit melewati ladang-ladang kubis dan strawberry, sayang strawberrynya belum berbuah. Jalurnya benar-benar masih tertutup jadi kami harus selalu menyibak rerumputan dan semak-semak sepanjang perjalanan. Walau belum ada jalurnya, kondisi medannya cukup mudah untuk didaki karena landai dan tidak terlalu curam.
Sekitar tiga puluh menit mendaki, kami sampai diatas bukit, dan ternyata bukit tujuan kami masih ada dibaliknya dengan kondisi harus menuruni jurang serta tidak terlihat tanda-tanda jalan sama sekali.
Karena it’s seems impossible untuk menaiki Gunung Kelir dari sisi ini (dan juga karena sudah malas, hehe) maka kami putuskan untuk cukup mendaki bukit tempat kami berpijak sekarang dan ternyata...Wow! pemandangan di arah timur sangat indah! Matahari menyibak Bukit-bukit barisan dan dua gunung besar di arah timur.
Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing telrihat jelas, padahal jaraknya lumayan jauh! Sementara di sebelah barat, Gunung Slamet menjulang tinggi dengan sangat jelas tanpa tertutup kabut sama sekali. Zona-zona hutan Gunung Slamet pun menjadi tampak sangat jelas! Kami gelar tikar, siapkan kompor dan kopi. Sambil menyeruput kopi dan menikmati pemandangan yang cerah pagi ini serasa mengobati kekecewaan karena tidak jadi naik Gunung Kelir.
Pendakian diawali dengan menaiki bukit melewati ladang-ladang kubis dan strawberry, sayang strawberrynya belum berbuah. Jalurnya benar-benar masih tertutup jadi kami harus selalu menyibak rerumputan dan semak-semak sepanjang perjalanan. Walau belum ada jalurnya, kondisi medannya cukup mudah untuk didaki karena landai dan tidak terlalu curam.
Sekitar tiga puluh menit mendaki, kami sampai diatas bukit, dan ternyata bukit tujuan kami masih ada dibaliknya dengan kondisi harus menuruni jurang serta tidak terlihat tanda-tanda jalan sama sekali.
Karena it’s seems impossible untuk menaiki Gunung Kelir dari sisi ini (dan juga karena sudah malas, hehe) maka kami putuskan untuk cukup mendaki bukit tempat kami berpijak sekarang dan ternyata...Wow! pemandangan di arah timur sangat indah! Matahari menyibak Bukit-bukit barisan dan dua gunung besar di arah timur.
Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing telrihat jelas, padahal jaraknya lumayan jauh! Sementara di sebelah barat, Gunung Slamet menjulang tinggi dengan sangat jelas tanpa tertutup kabut sama sekali. Zona-zona hutan Gunung Slamet pun menjadi tampak sangat jelas! Kami gelar tikar, siapkan kompor dan kopi. Sambil menyeruput kopi dan menikmati pemandangan yang cerah pagi ini serasa mengobati kekecewaan karena tidak jadi naik Gunung Kelir.
Memandang Gunung Kelir yang sangat curam |
Saat turun, kami
tanyakan nama bukit tadi kepada bapak-bapak yang kami singgahi rumahnya kemarin
malam, kebetulan itu bapak lagi mengurus ladang kobisnya, dan katannya bukit
itu gak ada namanya “ya sekarepmu arep
dijenengi apa ngonoh, haha”, kami namakan bukit itu dengan nama bukit Ayu,
karena menyuguhkan pemandangan yang “ayu”
dan juga mbak kunti di atas sana katanya juga namanya “Ayu”, hihihihi.
Continue Reading
Januari 21, 2016
Air Terjun Eksotis di Curug Sumba, Purbalingga
Januari 21, 2016
Air Terjun,
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Wisata Alam,
Tidak saya sangka ternyata di kota kecil Purbalingga yang dikalangan para pelancong hanya dikenal dengan Gunung Slamet, sementara untuk para pebisnis dikenal dengan industri rambut dan knalpotnya terdapat sebuah air terjun atau bahasa daerahnya "curug" yang menurut saya sangat eksotis dan keren abis.
Letak curug ini juga ternyata tidak disangka berada dibawah sebuah jembatan kecil di sebuah desa bernama Desa Tlahab Kidul, Kecamatan Bobotsari.
Sebelumnya saya pernah mencoba kesini saat saya pulang dari Desa Wisata Limbasari dan mendapat info dari penduduk sekitar kalau ada sebuah Curug yang letaknya tidak jauh dari Jalan Raya Bobotsari - Karangreja namun setelah saya kesana teryata zonk! karena sungainya sedang banjir.
Letak curug ini juga ternyata tidak disangka berada dibawah sebuah jembatan kecil di sebuah desa bernama Desa Tlahab Kidul, Kecamatan Bobotsari.
Sebelumnya saya pernah mencoba kesini saat saya pulang dari Desa Wisata Limbasari dan mendapat info dari penduduk sekitar kalau ada sebuah Curug yang letaknya tidak jauh dari Jalan Raya Bobotsari - Karangreja namun setelah saya kesana teryata zonk! karena sungainya sedang banjir.
Akhirnya saya kembali kesini dalam perjalanan pulang dari pendakian Gunung Beser untuk sekedar mandi-mandi lucu.
Berada ditengah areal persawahan, menantilah sebuah Curug indah dengan air yang berwarna hijau karena refleksi lumut dan tanaman-tanaman yang berada diatasnya.
Untuk menuju Curug ini saya harus melewati sebuah jalan tanah sekitar 300 meter dari jalan raya, kemudian motor saya parkir di pinggir jembatan. Dari jembatan saya jalan turun melewati pematang sawah sekitar lima menit dan... inilah Curug Sumba yang keren itu.

Berada ditengah areal persawahan, menantilah sebuah Curug indah dengan air yang berwarna hijau karena refleksi lumut dan tanaman-tanaman yang berada diatasnya.
Untuk menuju Curug ini saya harus melewati sebuah jalan tanah sekitar 300 meter dari jalan raya, kemudian motor saya parkir di pinggir jembatan. Dari jembatan saya jalan turun melewati pematang sawah sekitar lima menit dan... inilah Curug Sumba yang keren itu.
Airnya jernih dan segar, namun pada bagian kolam utamanya terlihat dalam karena saya tidak bisa melihat dasarnya. Dasar kolam tersebut mungkin menyatu dengan warna air yang kehijauan tersebut.
Dibagian tebingnya ada sebuah celah gua kecil yang terdapat air mengalir dari dalamnya. Untuk air terjunnya sendiri tidak besar, namun saat banjir bisa menjadi sangat besar dan ganas. Tidak ada orang disini selain saya dan Fito, teman perbolangan saya.
Dibagian tebingnya ada sebuah celah gua kecil yang terdapat air mengalir dari dalamnya. Untuk air terjunnya sendiri tidak besar, namun saat banjir bisa menjadi sangat besar dan ganas. Tidak ada orang disini selain saya dan Fito, teman perbolangan saya.
Tidak menunggu lama, langsung saya ceburkan badan berlemak ini kedalam segarnya air kolam Curug Sumba, aiih....rasanya badan ini seperti hidup kembali dari penatnya pendakian Gunung Beser dan panasnya cuaca di siang hari itu.
Buat kamu yang mau mandi di kolamnya dan tidak bisa berenang harus menggunakan pelampung yah, karena dalamnya lebih dari dua meter. Tapi buat yang tidak sempat membawa pelampung bisa berenang dipinggirannya yang airnya dangkal, sama segarnya kok, cuman beda sensasinya saja, hehe.
Curug ini wajib dikunjungi jika kamu berkunjung ke Purbalingga, apalagi jika kamu mendaki Gunung Slamet, pulangnya harus mampir kesini, saya jamin semua penat akan hilang, apalagi lokasinya masih satu jalur dengan jalur menuju basecamp Bambangan.
Buat kamu yang mau mandi di kolamnya dan tidak bisa berenang harus menggunakan pelampung yah, karena dalamnya lebih dari dua meter. Tapi buat yang tidak sempat membawa pelampung bisa berenang dipinggirannya yang airnya dangkal, sama segarnya kok, cuman beda sensasinya saja, hehe.
Curug ini wajib dikunjungi jika kamu berkunjung ke Purbalingga, apalagi jika kamu mendaki Gunung Slamet, pulangnya harus mampir kesini, saya jamin semua penat akan hilang, apalagi lokasinya masih satu jalur dengan jalur menuju basecamp Bambangan.
foto-foto lain :
Januari 14, 2016
Menyibak Kabut Gunung Beser Purbalingga
Januari 14, 2016
Dalam Negeri,
Gunung,
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Cuaca sore hari ini begitu buruk.
Petir bersahut-sahutan di angkasa. Saya hanya bisa memandangnya dengan pasrah karena
acara ngecamp sore ini jadi batal karena hujan.
Sebenarnya saya bersama seorang teman berencana untuk mengeksplor sebuah gunung di Kecamatan Karang Jambu, Kabupaten Purbalingga. Gunung ini terlihat begitu menjulang saat dilihat dari jalanan dan nampaknya belum pernah di eksplorasi untuk kegiatan wisata.
Gunung ini juga terlihat di cerita saya sebelumnya saat saya berada di Desa Wisata Limbasari. Nama gunung ini adalah Gunung
Beser.
Januari 08, 2016
Jalan-Jalan Sore di Desa Wisata Limbasari Purbalingga
Januari 08, 2016
Dalam Negeri,
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Wisata Alam,
Masih saja belum habis wisata yang
ada di Purbalingga. Purbalingga mempunyai banyak sekali obyek wisata, dari
wahana wisata buatan, beberapa spot untuk rafting, puluhan air terjun, dan
puluhan lokasi tracking bukit yang menyuguhkan pemandangan alam yang indah.
Tidak mengherankan, karena Purbalingga mempunyai letak geografis pegunungan
terutama di daerah utara.
Mumpung lagi mudik, saya coba-coba nyari hestek
Instagram dan hasilnya waoww…banyak sekali tempat yang ajiib yang harus
dikunjungi di Purbalingga. Kemarin sore saya sempatkan waktu untuk mengunjungi
Desa Limbasari di Kecamatan Bobotsari Purbalingga. Desa Limbasari menyuguhkan
Panorama Perbukitan yang berjejer dan juga sungai klawing dengan batu-batu
besar yang eksotis.
Perjalanan dari kota Purbalingga menuju Limbasari ditempuh
dengan waktu 30 menit mengendarai supra butut saya. Cara menuju kesana cukup
mudah. Jadi kalau dari arah Purbalingga terus ikuti jalan utama menuju
Bobotsari. Sesampainya di Bobotsari ikuti jalan menuju Kec. Karangreja / Pemalang.
Sekitar 10 menit nanti di kanan jalan ada plang DESA WISATA LIMBASARI. Dari
situ masuk masih sekitar 10 menit. Kalau bingung tanya saja dengan penduduk
sekitar.
Memasuki Limbasari saya disuguhi
pemandangan perbukitan berkabut yang eksotis. Saya sempatkan foto-foto dulu sebelum
cahaya mentari meredup. Karena sendirian jadi harus menggunakan tripod dan
timer untuk memotret diri sendiri, alhasil saya jadi pusat perhatian warga
sekitar yang lalu lalang di sepanjang jalan.
Ada papan petunjuk yang menjelaskan atraksi wisata di Desa Wisata Limbasari namun tidak jelas sama sekali arah dan tujuannya. Hanya sebuah papan bertuliskan list atraksi wisata saja, tanpa petunjuk arah maupun kontak telepon yang bisa dihubungi. Hasilnya sayapun kebingungan dan harus tanya sana-sini.
Ada papan petunjuk yang menjelaskan atraksi wisata di Desa Wisata Limbasari namun tidak jelas sama sekali arah dan tujuannya. Hanya sebuah papan bertuliskan list atraksi wisata saja, tanpa petunjuk arah maupun kontak telepon yang bisa dihubungi. Hasilnya sayapun kebingungan dan harus tanya sana-sini.
Sayang sekali sesampainya di Sungai
Klawing kondisi tidak seperti yang saya bayangkan saat melihat di Instagram,
air sungai membludak berwarna coklat sampai menutupi batu-batu besar tersebut
dikarenakan habis hujan deras. Yah saya hanya bisa gigit jari dan merenungi
nasib karena belum berkesempatan melihat sungai berbatu nan eksotis itu.
River Tubing di Sungai Klawing (Gambar limbasaripatrawisapbg.blogspot.co.id) |
Dengan kecewa saya balik dan menuju
destinasi selanjutnya yaitu Curug Sumba yang menurut perkiraan saya juga airnya
membludak kecoklatan, tapi tidak apa, itung-itung survey lokasi. Curug Sumba
berlokasi tidak jauh dari Desa Wisata Limbasari yakni di Desa Tlahab Kidul.Tepatnya sekitar 500m sebelum plang Desa Wisata
Limbasari.
Jalan menuju curug berada tepat di pinggir jalan Bobotsari-Karangreja diapit persawahan dan berupa jalan kecil berbatu yang hanya muat untuk satu mobil saja. Motor saya parkirkan disebelah jembatan dan saya haru berjalan kaki menuruni pematang sawah sekitar 5 menit.
Curug Sumba ini terkenal dengan airnya yang jernih dan memantulkan warna hijau-biru. Namun seperti yang sudah diduga, sungainya banjir. Setelah mendokumentasikannya, saya pun pulang dengan galau..hahaha. Mungkin besok lagi jika cuaca tidak hujan saya akan kesini lagi untuk menagih janji. Akhirnya saya berhasil menuju curug Sumba ketika surut / tidak banjir! ceritanay ada disini Air terjun Eksotis Curug Sumba Purbalingga
Jalan menuju curug berada tepat di pinggir jalan Bobotsari-Karangreja diapit persawahan dan berupa jalan kecil berbatu yang hanya muat untuk satu mobil saja. Motor saya parkirkan disebelah jembatan dan saya haru berjalan kaki menuruni pematang sawah sekitar 5 menit.
Curug Sumba ini terkenal dengan airnya yang jernih dan memantulkan warna hijau-biru. Namun seperti yang sudah diduga, sungainya banjir. Setelah mendokumentasikannya, saya pun pulang dengan galau..hahaha. Mungkin besok lagi jika cuaca tidak hujan saya akan kesini lagi untuk menagih janji. Akhirnya saya berhasil menuju curug Sumba ketika surut / tidak banjir! ceritanay ada disini Air terjun Eksotis Curug Sumba Purbalingga
![]() |
Kali klawing di Desa Limbasari jika debit air kecil (photo credit : @sexsoii ) |
Agustus 28, 2015
Masjid Ceng Ho, Masjid Berarsitektur Oriental di Purbalingga
Agustus 28, 2015
Budaya & Kehidupan,
Dalam Negeri,
indonesia,
Jawa Tengah,
Landmark & Park,
Purbalingga,
Travel Stories,
Bertambah satu lagi masjid yang bentuk bangunannya menyerupai rumah peribadatan orang tionghoa atau biasa disebut klenteng di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Masjid Ceng Ho namanya, bentuknya khas daratan Tiongkok sana dengan dominasi warna merah yang tajam mencolok mata.
Pertama kali saya melihatnya sudah membuat saya jatuh hati dengannya, namun baru sempat menjejakan kaki dan beribadah didalamnya kemarin. Mungkin bentuk masjid yang paling banyak ragamnya hanya ada di Indonesia saja. Ada masjid bergaya Jawa, masjid bergaya Hindu, masjid bergaya Timur Tengah, masjid bergaya Padang, Masjid bergaya Tiongkok, dan masih banyak gaya-gaya yang lainnya. Sungguh, Indonesia memang negeri yang indah.
Lampion menambah kuat kesan Tiongkoknya |
Pelataran parkir masjid Jami' Muhammad Ceng Ho ini cukup luas. orang yang hanya sekilas melihatnya pasti menyangka ini adalah klenteng. Lampu lampion berwarna merah menggantung di tiap sudut masjid. Jendela berbentuk segi delapan khas China dengan kaca warna-warni ikut memperindah fisik bangunan ini. Masjid ini membawa nafas baru di kota Purbalingga Perwira ini.
Perbedaan yang mencolok dengan bentuk masjid-masjid yang lain membuat warga Purbalingga penasaran dan akhirnya masjid ini banyak yang mengunjunginya. Letaknya yang berada di pinggir jalan, tepatnya di jalan Purbalingga - Bobotsari, di desa Selaganggeng, Kecamatan Mrebet, membuat masjid ini menjadi tempat beribadah bagi para komuter maupun orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh.
Pilar dengan warna merah dan hijau, khas Tiongkok |
Interior masjid Ceng Ho ini juga sarat dengan warna merah. Pilar-pilar penyangganya berjumlah empat dan berwarna merah, senada dengan warna lantainya yang juga merah mengkilap. Pada pintu masuk terdapat empat huruf China, yang artinya mungkin "Masjid Jami' Ceng Ho. Nah, kalau dipintu masuk terdapat huruf China, lain halnya di dalam masjid. Ayat-ayat suci Al'Quran berwarna emas berjejer diatas background merah, sungguh unik perbaduan antara dua kebudayaan ini.
Bukan kubah, melainkan segi delapan |
Indah bukan? |
Pembuatan Masjid Jami' Ceng Ho ini awalnya diperuntukan untuk para mualaf yang berada di Purbalingga. Ada sekitar 130 orang muslim Tionghoa yang berada di Purbalingga dan tersebar di berbagai kecamatan. Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 2005 atas prakarsa dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), namun papa tahun 2006 pembangunannya sempat terhenti dan baru pada tahun 2010 kembali dibangun yang akhirnya selesai dan diresmikan pada tanggal 5 Juli 2011.
Sholatlah sebelum engkau disholati |
Tiongkok banget! |
Perpaduan etnis dan budaya yang ada di Purbalingga ini tidak lepas dari sikap toleransi dan saling menghargai antar suku, agama, dan ras masyarakatnya sendiri. Semoga sikap saling menghargai ini tetap erat sampai kapanpun. Jangan sampai rusak gara-gara beberapa orang bodoh yang tidak tahu apa-apa yang menganggap sukunya dan agamanya, bahkan mungkin rasnya-lah yang paling unggul. Indonesia menjadi Indonesia karena toleransinya, begitu juga Purbalingga.
Pai-pai di pintu depan masjid |
Ingat, satu-satunya niat untuk beribadah adalah niat karena Tuhan Yang Maha Esa, bukan yang lainnya.
April 02, 2015
Kenalan Dengan Traveler Bule Dari Rusia Mark & Natasha
April 02, 2015
Budaya & Kehidupan,
Inspirasi Traveling,
Intermezzo,
Purbalingga,
Sore ini Purbalingga cerah sekali, tak seperti biasanya yang selalu mendung dan turun hujan. Saya menikmati sore hari ini dengan secangkir kopi hitam yang tak terlalu manis dan ditemani hisapan rokok favorit sambil menikmati kecerahan suasana alun-alun kota.
Langit begitu cerah, awan-awan putih bertebaran di angkasa dengan bias sinar matahari berwarna oranye menembus awan-awan tersebut, matahari hendak tenggelam tampaknya. Ditengah kenikmatan tersebut, tiba-tiba ada yang mencuri perhatian saya, yakni dua orang bule yang sedang berjalan ditengah alun-alun sambil menenteng tas ransel besar dengan tampilan ala kadarnya. Si cowok mengenakan kaus merah dengan celan khaki 3/4 yang sobek dibagian lututnya, sedangkan si cewek mengenakan kemeja motif bunga-bunga dengan tanpa alas kaki alias nyeker. Wah, sungguh keren penampilan mereka. Coba saja kalau mereka bukan bule, pasti sudah di caci-maki oleh khalayak umum.
Langit begitu cerah, awan-awan putih bertebaran di angkasa dengan bias sinar matahari berwarna oranye menembus awan-awan tersebut, matahari hendak tenggelam tampaknya. Ditengah kenikmatan tersebut, tiba-tiba ada yang mencuri perhatian saya, yakni dua orang bule yang sedang berjalan ditengah alun-alun sambil menenteng tas ransel besar dengan tampilan ala kadarnya. Si cowok mengenakan kaus merah dengan celan khaki 3/4 yang sobek dibagian lututnya, sedangkan si cewek mengenakan kemeja motif bunga-bunga dengan tanpa alas kaki alias nyeker. Wah, sungguh keren penampilan mereka. Coba saja kalau mereka bukan bule, pasti sudah di caci-maki oleh khalayak umum.
Mereka duduk lesehan dengan beralaskan rumput sambil menikmati suasana langit sore ini yang memang sungguh luar biasa indah menurut saya. Karena penasaran, saya dekati mereka. Setelah menyapa, basa-basi, akhirnya kami berbincang-bincang sedikit.
Saya bertanya mengapa mereka berada di kota kecil ini, yang sangat jarang sekali kedatangan bule dari ras kaukasoid ini. Kalau ada, palingan hanya bule dari Korea ataupun China yang notabene merupakan bos-bos dari pabrik-pabrik bulu dan rambut palsu yang tersebar di seantero Purbalingga. Ternyata, mereka berada di Purbalingga hanya sekedar transit sebelum kembali melakukan perjalanan mereka menuju Yogyakarta.
Metode perjalanan yang mereka pakai adalah hitch hikking yaitu menyetop kendaraan-kendaraan pribadi supaya bisa numpang gratis sampai tujuan. Di Indonesia sendiri, terutama di kota-kota besar sudah bermunculan komunitas hitch hikking ini, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dll.
Saya bertanya mengapa mereka berada di kota kecil ini, yang sangat jarang sekali kedatangan bule dari ras kaukasoid ini. Kalau ada, palingan hanya bule dari Korea ataupun China yang notabene merupakan bos-bos dari pabrik-pabrik bulu dan rambut palsu yang tersebar di seantero Purbalingga. Ternyata, mereka berada di Purbalingga hanya sekedar transit sebelum kembali melakukan perjalanan mereka menuju Yogyakarta.
Metode perjalanan yang mereka pakai adalah hitch hikking yaitu menyetop kendaraan-kendaraan pribadi supaya bisa numpang gratis sampai tujuan. Di Indonesia sendiri, terutama di kota-kota besar sudah bermunculan komunitas hitch hikking ini, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dll.
Mark dan Natasha nama mereka. Mereka berasal dari Russia, tepatnya dari kota St. Petersburg. Visa 30 hari mereka manfaatkan dengan sangat maksimal, sebelumnya di Indonesia mereka telah menjelajahi Dumai, Lampung, Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, Purwokerto, dan akhirnya sampai di sini, Purbalingga, sebelum menuju Yogyakarta. Mereka sungguh ramah dan cerewet. Mereka minta pendapatku, tampat mana saja yang most recommended untuk mereka kunjungi selama berada di Jawa. Tentu saja, saya rekomendasikan tempat-tempat seperti Karimunjawa, Dieng, Surakarta, pantai selatan Gunung Kidul, Bromo, Malang, dll.
Anak-anak kecil yang tadinya hanya ada dua, sekarang bertambah menjadi sepuluh anak yang mengerubungi kami seiring dengan obrolan yang semakin hangat. Maghrib-pun tiba, langit bertambah memerah warnanya, dan jauh lebih indah. Suara adzan dari masjid agung berkumandang dengan merdunya.
Tiba-tiba mereka berdiri dan langsung mengekspresikan keindahan senja itu dengan menari-nari, berpelukan, dan saling cium, ohhhh...wtf! Mereka tampaknya begitu gembira. kata Natasha "When I hear them singing, calling people for praying, it's voice and melodies are so beauty, peaceful, dramatic, and also romantic" Natasha merinding dan merasa suara adzan itu selalu membuatnya merasakan suatu perasaan yang misterius, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin terdengar lebay, namun memang adzan sore ini begitu berbeda, suaranya begitu merdu, ditambah suasan langit cerah yang memang indah dan dramatis.
Tiba-tiba mereka berdiri dan langsung mengekspresikan keindahan senja itu dengan menari-nari, berpelukan, dan saling cium, ohhhh...wtf! Mereka tampaknya begitu gembira. kata Natasha "When I hear them singing, calling people for praying, it's voice and melodies are so beauty, peaceful, dramatic, and also romantic" Natasha merinding dan merasa suara adzan itu selalu membuatnya merasakan suatu perasaan yang misterius, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin terdengar lebay, namun memang adzan sore ini begitu berbeda, suaranya begitu merdu, ditambah suasan langit cerah yang memang indah dan dramatis.
Malam mulai turun dan it's time to say goodbye. Mereka berdua hendak melanjutkan perjalanannya, dan saya juga hendak pulang ke rumah. Setelah tuker-tukeran e-mail dan nomor telepon, akhirnya kami say goodbye, mereka langsung bersiap dengan jurus hitch hikkingnya. Ternyata, kota kecil seperti Purbalingga juga mampu kedatangan bule nyentrik seperti mereka. Nice to see you, Nat and Mark, hope to see you again.
Lokasi Purbalingga yang berada di jalur tengah merupakan daerah tempat wisata dataran tinggi yang eksotis. Ada baturaden di Purwokerto, Gunung Slamet, Dataran Tinggi Dieng di Wonosobo dan Banjarnegara, dan merupakan jalur alternatif menuju Propinsi Yogyakarta. Dengan lokasi seperi ini seharusnya pemerintah dapat memanfaatkannya dengan baik, mengelola peluang dan kesempatan yang ada. Siapa tau mungkin nanti, Purbalingga tidak hanya menjadi tempat transit bule-bule, namun justru menjadi destinasi utama bagi mereka.
Desember 20, 2014
Melihat Pertunjukan Wayang Dalang Manteb Dengan Sinden Bule
Desember 20, 2014
Budaya & Kehidupan,
Dalam Negeri,
Event,
Purbalingga,
Travel Stories,
Sayangnya hujan turun pada pagelaran wayang yang pertama sehingga jumlah penontonnya hanya sedikit. Baru pada pementasan kedua yang digawangi oleh dalang beken Ki Manteb, jumlah penontonnya lumayan banyak. Padahal, sebelum pentas dimulai, hujan turun sangat deras.
Ajaibnya saat acara dimulai, hujan perlahan-lahan mereda, seperti yang dikatakan oleh Ki Manteb sendiri " Tenang wae, nek wis mulai wayangane li insyaallah udane mandek, merga Gusti Allah". Ki Manteb merupakan dalang yang beken karena menjadi ikon salah satu obat sakit kepala.
Acara dimulai pukul 21.00 WIB, penonton mulai berkerumun mengelilingi panggung, sementara pejabat-pejabat pemerintahan duduk nyaman di bagian paling depan. Penjual-penjual makanan dan minuman turut serta meramaikan pementasan wayang ini.
Selain penjual makanan, ada juga penjual obat-obatan alternatif seperti jamu, ramuan herbal tradisional, tukang bekam, dll yang memanfaatkan pentas ini sebagai ajang mencari peruntungan. Aneka penjual suvenir wayang juga tak kalah meramaikan acara ini.
Selain penjual makanan, ada juga penjual obat-obatan alternatif seperti jamu, ramuan herbal tradisional, tukang bekam, dll yang memanfaatkan pentas ini sebagai ajang mencari peruntungan. Aneka penjual suvenir wayang juga tak kalah meramaikan acara ini.
Sinden Import
Yang menarik adalah, beberapa waranggana wayang kulit atau akrab disapa dengan sebutan sinden ada yang berasal dari mancanegara. Agnes Serfozo atau akrab dipanggil Aggy merupakan sinden yang berasal dari Hungaria, dia telah tertarik dengan kesenian wayang ini sejak Ki Manteb melakukan pentas di negerinya, tepatnya saat pentas di Budapest. Bahasa Jawa yang di ucapkannya benar-benar fasih, tak disangka ternyata yang mengucapkannya adalah bule dari Hungaria. Saat ini Aggy tinggal di Kota Solo.
Sinden bule lainnya yang tak kalah menarik adalah Hiromi Kano, sinden asal negeri sakura, Jepang ini telah malang melintang didunia perwayangan sejak 13 tahun lalu. Awal mula ketertarikannya dengan dunia sinden dan wayang kulit diawali ketika dia kuliah di STSI atau Sekolah Tinggi Seni Indonesia pada tahun 1996. Orang luar saja begitu antusias dengan budaya leluhur kita, kenapa kita tidak?
Foto :
![]() |
Agnes Serfozo, sinden dari Hungaria |
![]() |
Hiromi Kano (tengah), sinden asal Jepang. |
Langganan:
Postingan (Atom)
Designed By: Blogger Templates | Templatelib