Legenda Si Pahit Lidah dan Mata Empat
Legenda si Pahit Lidah dan Mata Empat ini sangat dikenal oleh masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung. Saya tulis di blog sebagai informasi tambahan untuk tulisan saya tentang Danau Ranau di Sumatera Selatan.
Jadi waktu berkunjung ke Sumatera Selatan, tepatnya saat berada di Danau Ranau, saya diceritakan soal legenda pertarungan antara si Pahit Lidah dan si Mata Empat. Sebuah pertarungan untuk mempertahankan ego masing-masing yang berujung bencana bagi keduanya.
Nama lain dari si Pahit Lidah adalah Pangeran Serunting Sakti. Memang banyak legenda yang menceritakan kehebatan Pangeran Serunting Sakti atau si Pahit Lidah ini. Namun, yang membuat cerita ini spesial adalah karena menceritakan tentang bagaimana kematian sang pangeran yang sakti mandraguna ini.
Dari cerita ini barangkali kita bisa mengambil sebuah pelajaran yang berharga.
Alkisah pada zaman dahulu di Sumatera Selatan, tepatnya di sebuah desa di pinggiran Danau Ranau dan dibawah kaki Gunung Seminung, hiduplah dua orang pendekar yang gagah perkasa dan memiliki kesaktian, yaitu si Pahit Lidah dan si Empat Mata.
Kegagahan dan kesaktian mereka berdua membuatnya sangat dikenal dan disegani oleh masyarakat.
Sayangnya, si Pahit Lidah dan si Mata Empat selalu bersaing dan merasa dirinya yang paling hebat. Sampai pada suatu hari, si Pahit Lidah datang menemui si Mata Empat.
Sambil menyombongkan diri, si Pahit Lidah berkata, “Hai Mata Empat, kudengar kau sangat sakti. Tapi, kurasa kesaktianmu tidaklah sebanding denganku.”
Merasa diremehkan, si Mata Empat pun membalas, “Apa maksudmu? Kau pikir, sehebat apa dirimu? Untuk membuktikan siapa yang paling sakti diantara kita, ayo kita adu kesaktian!”
“Baiklah, aku terima tantanganmu. Lalu akan bertanding apa kita?" Jawab si Pahit Lidah.
Si Mata Empat diam sejenak, memikirkan pertarungan apa yang kiranya bakal menguntungkan dirinya. Dengan liciknya, dia mengusulkan sebuah ide.
"Masing-masing dari kita nanti harus menelungkup di bawah rumpun bunga aren tanpa melihat ke atas. Kemudian, bunga aren itu dipotong. Siapa yang bisa menghindar dari bunga aren tersebut, dialah yang menang,” jelas si Mata Empat menantang.
...
Kegagahan dan kesaktian mereka berdua membuatnya sangat dikenal dan disegani oleh masyarakat.
Sayangnya, si Pahit Lidah dan si Mata Empat selalu bersaing dan merasa dirinya yang paling hebat. Sampai pada suatu hari, si Pahit Lidah datang menemui si Mata Empat.
Sambil menyombongkan diri, si Pahit Lidah berkata, “Hai Mata Empat, kudengar kau sangat sakti. Tapi, kurasa kesaktianmu tidaklah sebanding denganku.”
Merasa diremehkan, si Mata Empat pun membalas, “Apa maksudmu? Kau pikir, sehebat apa dirimu? Untuk membuktikan siapa yang paling sakti diantara kita, ayo kita adu kesaktian!”
“Baiklah, aku terima tantanganmu. Lalu akan bertanding apa kita?" Jawab si Pahit Lidah.
Si Mata Empat diam sejenak, memikirkan pertarungan apa yang kiranya bakal menguntungkan dirinya. Dengan liciknya, dia mengusulkan sebuah ide.
"Masing-masing dari kita nanti harus menelungkup di bawah rumpun bunga aren tanpa melihat ke atas. Kemudian, bunga aren itu dipotong. Siapa yang bisa menghindar dari bunga aren tersebut, dialah yang menang,” jelas si Mata Empat menantang.
Satu pohon aren bisa menghasilkan bunga / kolang-kaling sebanyak 250 kg. Kalau ketiban bunga seberat itu bisa mengancam nyawa kan yah? |
Dan pada akhirnya mereka pun memutuskan hari untuk bertarung adu kesaktian. Akhirnya waktu yang telah di tentukan itu pun tiba.
Si Mata Empat mendapat giliran pertama. Sesuai namanya, ia memiliki empat mata, dua mata berada di depan dan dua lainnya berada dibelakang kepalanya.
Pertandingan ini memang sudah direncanakan si Mata Empat, karena walaupun menelungkup, si Mata Empat tetap dapat melihat datang jatuhnya bunga aren tersebut.
Dengan gesitnya Pahit lidah naik ke atas pohon aren dan berhasil memotong bunganya sedangkan si Mata Empat sudah bersiap-siap menelungkup di bawah rumpunan pohon. Ketika bunga pohon aren terjatuh ke bawah si Mata Empat berhasil mengelak dan selamat.
Kini tiba giliran si Mata Empat untuk memanjat pohon aren. Sedangkan si Pahit Lidah menelungkupkan badannya di bawah rumpunan pohon tersebut.
Tidak kalah gesitnya si Mata Empat pun memanjat. Setelah sampai di atas, ia memotong bunga aren. Dengan cepat, bunga aren tersebut meluncur ke bawah.
Si Pahit Lidah yang tidak mengetahui bunga aren itu telah dipotong, hanya menelungkup tanpa menghindar. Akibatnya, kepala dan tubuh si Pahit Lidah terkena hantaman bunga aren. Seketika itu juga ia langsung tewas.
Melihat kematian si Pahit Lidah, hati si Mata Empat menjadi puas. Ia pun berfikir kini, dia lah yang paling sakti di antara pendekar lain yang ada di seantero Danau Ranau dan Gunung Seminung.
Namun, dibalik rasa puasnya, si Mata Empat masih merasa penasaran tentang nama si Pahit Lidah.
“Tapi, mengapa dia dipanggil si Pahit Lidah? Selain setiap yang disumpahinya akan menjadi batu, apakah lidahnya benar-benar pahit, atau kah hanya nama nya saja seperti itu?” pikir si Mata Empat.
Penasaran, si Mata Empat pun menghampiri mayat si Pahit Lidah. Setelah itu, dibukalah mulut si Pahit Lidah. Setelah dilihat-lihat dengan teliti, ternyata lidah milik si Pahit Lidah tidak jauh berbeda dengan lidah yang ia miliki.
“Benarkah lidah si Pahit Lidah memiliki rasa yang pahit?” tanya Empat Mata dalam hati nya seraya sambil menempelkan telunjuknya ke dalam lidah si Pahit Lidah. Kemudian, ia kecap jari telunjuknya yang telah terkena liur si Pahit Lidah itu ke lidahnya. Memang benar ternyata terasa sangat pahit,” ujarnya kembali dalam hati.
Akan tetapi, ia tidak mengetahui bahwa rasa pahit itu adalah racun yang berada di lidah si Pahit Lidah. Akibatnya si Empat Mata pun tewas karena telah mengecap lidah si Pahit Lidah yang beracun itu.
Si Mata Empat mendapat giliran pertama. Sesuai namanya, ia memiliki empat mata, dua mata berada di depan dan dua lainnya berada dibelakang kepalanya.
Pertandingan ini memang sudah direncanakan si Mata Empat, karena walaupun menelungkup, si Mata Empat tetap dapat melihat datang jatuhnya bunga aren tersebut.
Dengan gesitnya Pahit lidah naik ke atas pohon aren dan berhasil memotong bunganya sedangkan si Mata Empat sudah bersiap-siap menelungkup di bawah rumpunan pohon. Ketika bunga pohon aren terjatuh ke bawah si Mata Empat berhasil mengelak dan selamat.
Kini tiba giliran si Mata Empat untuk memanjat pohon aren. Sedangkan si Pahit Lidah menelungkupkan badannya di bawah rumpunan pohon tersebut.
Tidak kalah gesitnya si Mata Empat pun memanjat. Setelah sampai di atas, ia memotong bunga aren. Dengan cepat, bunga aren tersebut meluncur ke bawah.
Si Pahit Lidah yang tidak mengetahui bunga aren itu telah dipotong, hanya menelungkup tanpa menghindar. Akibatnya, kepala dan tubuh si Pahit Lidah terkena hantaman bunga aren. Seketika itu juga ia langsung tewas.
Melihat kematian si Pahit Lidah, hati si Mata Empat menjadi puas. Ia pun berfikir kini, dia lah yang paling sakti di antara pendekar lain yang ada di seantero Danau Ranau dan Gunung Seminung.
Namun, dibalik rasa puasnya, si Mata Empat masih merasa penasaran tentang nama si Pahit Lidah.
“Tapi, mengapa dia dipanggil si Pahit Lidah? Selain setiap yang disumpahinya akan menjadi batu, apakah lidahnya benar-benar pahit, atau kah hanya nama nya saja seperti itu?” pikir si Mata Empat.
Penasaran, si Mata Empat pun menghampiri mayat si Pahit Lidah. Setelah itu, dibukalah mulut si Pahit Lidah. Setelah dilihat-lihat dengan teliti, ternyata lidah milik si Pahit Lidah tidak jauh berbeda dengan lidah yang ia miliki.
“Benarkah lidah si Pahit Lidah memiliki rasa yang pahit?” tanya Empat Mata dalam hati nya seraya sambil menempelkan telunjuknya ke dalam lidah si Pahit Lidah. Kemudian, ia kecap jari telunjuknya yang telah terkena liur si Pahit Lidah itu ke lidahnya. Memang benar ternyata terasa sangat pahit,” ujarnya kembali dalam hati.
Akan tetapi, ia tidak mengetahui bahwa rasa pahit itu adalah racun yang berada di lidah si Pahit Lidah. Akibatnya si Empat Mata pun tewas karena telah mengecap lidah si Pahit Lidah yang beracun itu.
Ilmu bukan untuk menyombongkan diri
Kini, tidak ada lagi pendekar sakti mandraguna. Mereka tewas akibat kesombongannya sendiri. Mayat si Mata Empat dan si Pahit Lidah pun dimakamkan di tepi Danau Ranau.
Menurut seorang reporter dari Sindonews yang berbincang langsung dengan tetua sekitar. Di sekitar Danau Ranau terdapat dua buah batu besar. Satu batu telungkup diyakini sebagai makam Si Pahit Lidah dan satu batu berdiri sebagai makam Si Mata Empat.
Makam keduanya terletak di kebun warga yang bernama Maimunah.
Ceritasi Pahit Lidah dan Mata Empat ini bahkan pernah dibuat filmnya pada akhir tahun 1980an. Dibintangi oleh bintang laga terkenal jaman dulu, yaitu almarhum Advent Bangun.
Mungkin pesan moral dari cerita si Pahit Lidah dan si Mata Empat adalah bahwa ilmu yang kita meliki sebaiknya digunakan untuk menolong dan berbuat baik kepada orang lain, bukan untuk menyombongkan diri. Karena kesombongan hanya akan membawa petaka.
Wih, ada makam? Jadi ini non-fiksi kah bang?
BalasHapusemmm antara non-fiksi dan fiksi sih mas. biasanya kalau legenda itu tokohnya memang nyata ada, namun ilmu2 dan cerita2 kesaktiannya itu hanya fiksi saja.
HapusHampir sama lah sama orang orang zaman sekarang, suka menyombongkan diri sendiri dan berasa paling berkuasa dan mengerti tentang sesuatu hal.
BalasHapushaha, iya mas. kit amemang tidak pernah bisa belajar dari sejarah. sejarah selalu berulang.
Hapuswah waktu kecil suka sekali baca dongeng apalagi yang punya kesaktian seperti si pahit lifah ini, salam kenal balik bang makasih sudah mengunjungi blog sederhana aku
BalasHapussalam kenal juga bang
Hapus"Ilmu bukan untuk menyombongkan diri". Dunia persilatan, yang pernah saya baca memang demikian. Dalam kehidupan sehari-hari, kerap terdengar. "Berbagi ilmu". Karena itu, kisanak, sudikah kiranya kisanak berbagi ilmu dengan hamba perihal bagaimana caranya saya bisa membaca komik itu?
BalasHapuswah suka komik jadul om? coba searching grup facebook 'gudang pemulung buku dan dokumen' banyak yg jual 'harta karun' disitu loh.
HapusWah ada filmnya juga, kereeen,, dibintangi advent bangun,ntapi jujur saya ga pernah dengar legenda ini. Tapi kakau kegenda ada makamnya,,, wah,,,wah,,, antara legenda atau nyata
BalasHapusMungkin sebuah kenyataan yang terlalu banyak dibumbui sehingga menjadi seperti sebuah legenda.
HapusKisahnya membawa saya ke masa kecil dulu dengan buku2 legenda nusantara... Iya, saya setuju, jangan sombong..
BalasHapusjangan pernah sombong, selalu rendah hati.
HapusSesuai janji mas ada lanjutannya. Pas bacanya, jadi penasaran dengan makamnya karena ceritanya bukan sekedar fiksi..
BalasHapushaha, iya mas, ini lagi mengumpulkan semangat lagi untuk menulis, lagi mood swing nih, haduh
HapusBiasanya sih kalau ada makamnya berarti orangnya memang ada, bisa jd adalah orang yang jaman dulu begitu dihormati dan disegani, tp dari masyarakat sekitar dibumbu2in sesuatu menjadi seperti cerita rakyat.. Bagus sih buat menambah kekhasan daerahnya
BalasHapusbener banget mas, biasanya legenda memang berasal dari kisah nyata yang dibumbui.
Hapus