April 20, 2017

Pelabuhan Bulang Linggi, Tanjung Uban, Bintan.
Kepulauan Riau menyimpan banyak pantai-pantai indah, namanya saja ‘kepulauan’ pasti banyak pantainya. Salah satu pantai-pantai indah tersebut ada di Pulau Bintan. Pulau Bintan kalau di peta berada tepat di sebelah Pulau Batam.


Saya menuju pulau Bintan dari Pelabuhan Telaga Punggur  Batam,  menuju Pelabuhan Bulang Linggi, Tanjung Uban. Ada dua rute menuju Pulau Bintan bila naik kapal laut dari Batam, yaitu lewat pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang dan Pelabuhan Tanjung Uban.

Kenapa lewat Tanjung Uban? Karena saya akan mendatangi pernikahan salah satu teman kuliah saya di Jogja, namanya Danang. Beruntung dia mendapat jodoh cewek Bintan yang aduhai cantiknye, khas awek malay. 


Akad dan resepsi nikahnya bertepatan dengan kunjungan saya ke Batam jadi harus saya sempatkan untuk hadir di acara sekali seumur-hidupnya.  Selain itu saya juga ada agenda lain yaitu mau plesiran ke pantai-pantai yang ada di Bintan, dan destinasi saya itu lebih dekat dijangkau dari Tanjung Uban ketimbang dari Pinang. 


Setelah saya searching di google, ada beberapa pantai yang harus saya kunjungi yaitu pantai Trikora dan Lagoi Bay. Lagoi Bay merupakan sebuah resort yang beberapa pantainya merupakan private beach dan tidak sembarangan orang boleh masuk kecuali tamu resort.


Saya membeli tiket kapal speed boat jurusan Tanjung Uban seharga Rp. 45.000. Perjalanannya cukup cepat, hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit mengarungi lautan. Buat yang hobi mabok laut harus waspada karena alunan ombaknya begitu intens.

Laju kapal yang cepat dan melawan gulungan ombak membuat perjalanannya cukup “menyenangkan”. Saya berangkat dari Batam sekitar jam tiga sore hari dan sampai di Uban sekitar pukul setengah empat kurang. 


Sesampainya di pintu keluar sudah banyak tukang ojek yang mengantri rezeki berharap salah satu penumpang mau memakai jasanya, maklum saat itu jasa ojek online belum ada di pulau kecil ini. Saya berniat memakai salah satu jasa tukang ojek ini tapi saya tunda dulu karena warung kopi di depan pelabuhan sangat menggoda untuk disinggahi.


Saya memesan segelas kopi hitam dan duduk di bagian pojok warung sambil menikmati lalu lalang pengunjung pelabuhan. Saat saya akan membayar kopi, abang kasir mengenali logat jawa saya dan bertanya “ Mas, dari Jawa ya?” saya pun membalas “Iya mas, dari Jogja”, ternyata mas kasir yang juga pemilik warung tersebut juga berasal dari Jawa juga, tapi saya lupa Jawanya dari daerah mana. 


Mas tersebut sudah merantau di Bintan selama sepuluh tahun dan menikah dengan warga lokal dan juga sudah dikaruniai seorang anak. Jiwa rantau suku Jawa ternyata boleh dikata tidak kalah dengan jiwa Rantau orang Batak, Padang, dan Bugis karena kita bisa bertemu orang Jawa di mana saja. Berbekal alamat dan lokasi GPS dari teman saya, saya pun meminta salah satu tukang ojek untuk mengantarkan saya. Tidak sulit mencari alamatnya karena di depan gang sudah ada janur kuning khas adat jawa yang melengkung.

Bersama mempelai pria, Danang, sekarang sudah bekerja sebagai wartawan di koran lokal Batam.
Sesampai di acara nikahan tersebut, bapak penyambut tamu yang ternyata paman dari mempelai perempuan menanyakan asal saya. Saat saya jawab bahwa saya jauh-jauh datang dari Jogja, seorang diri, kesepian, dan dengan raut muka memelas, bapak tersebut menyambut saya bak tamu VIP dan saya disuruh duduk di bagian kursi keluarga.


Saya melihat teman saya bersama istrinya (sekarang sudah sah disebut istri) sedang berada di panggung utama menyalami para undangan yang hadir. Mereka mengenakan busana adat Melayu. 


Cukup lama saya duduk sendirian sebelum akhirnya teman saya turun untuk ganti baju dan menemui saya. Tidak banyak ngobrol saat itu karena memang acaranya masih berlangsung. Danang menawari saya untuk menginap saja di rumahnya (sekarang sudah jadi rumahnya Danang juga) tapi saya tolak karena tidak enak, dan tidak kenal dengan anggota keluarga barunya, nanti saya seperti orang hilang, hehe. 


Setelah sholat maghrib, saya ijin pamit karena saya harus mencari penginapan dulu. Yap, saya sama sekali belum booking penginapan sama sekali. Tidak seperti traveler lain yang apa-apa serba harus dipersiapkan dahulu. Saya adalah tipe traveler yang sukanya dadakan. Jika tidak dapat penginapan ya tidak masalah kalau harus menginap di pombensin atau di masjid.

Foto mereka yang berbahagia, sayang fotoku bersama mempelai belum dikirimkan sama Danang, hiks.
Beberapa menit jalan kaki saya menjumpai sebuah café kecil berfasilitas free wifi. Saya mampir dulu di café tersebut sambil basa-basi bertanya tentang penginapan didekat sini. Abang café menyarankan saya ke daerah pelabuhan, karena disitu banyak penginapan. Oke, saya jalan kaki ke arah pelabuhan yang ternyata sangat dekat, hanya perlu lima belas menit dari rumah teman saya.


Di pelabuhan saya bertanya lagi, kali ini dengan mas-mas dari Jawa tadi, dia menyarankan penginapan yang tepat berada disebelah pelabuhan. Penginapan tersebut menghadap ke laut. Saya check in di penginapan tersebut dengan biaya per malam untuk kamar ekonomi seharga Rp.80.000, sangat murah! Sayangnya saya tidak dapat kamar yang menghadap ke laut.


Kesenangan karena mendapakan kamar dengan harga murah itu langsung lenyap setelah merasakan kondisi kasur yang bobrok. Kasurnya model spring bed, namun sudah rusak! Beberapa pernya sudah mencuat keluar dan saat saya tiduri, kasurnya merosot kebawah, tidak mampu menahan beban tubuh saya. Alhasil, malam itu saya tidak bisa tidur. Karena bete, saya memutuskan keluar di beranda hotel sambil menikmati suasana laut di malam hari.


Beruntung di beranda hotel ada warung kopi kecil dan beberapa tempat duduk. Saya memesan teh tarik. Suasana di pelabuhan terbilang cukup ramai. Beberapa orang terlihat sedang asik memancing di pier pelabuhan. Kapal Patroli Bea Cukai terlihat sedang berlabuh. Kapalnya cukup besar, seperti kapal perang Angkatan Laut minus senapannya.


Saya baru kali ini melihat Kapal Bea Cukai. Daerah perbatasan laut antar negara seperti ini memang rawan dengan penyelundupan barang-barang ilegal demi menghindari cukai. Rata-rata barang-barang tersebut nantinya berlabuh di Batam atau di pulau sekitarnya untuk kemudian di edarkan ke seluruh Indonesia. Untuk mencegah hal tersebut, pihak Bea Cukai memliki armada patroli lautnya sendiri, bekerja sama dengan TNI AL dan POLAIR.


Beberapa batang rokok sudah saya habiskan, sementara teh tarik sudah berada pada tetes terakhirnya. Saya beranjak kekamar untuk tidur. Mengingat kondisi kasurnya yang seperti neraka maka saya putuskan untuk tidur dilantai beralaskan selimut dan seprai hotel. Beruntung suhu malam itu sedang panas-panasnya, jadi tidak masalah bagi saya untuk tidur di lantai. Lantainya terbuat dari kayu dan saat saya mengintip sela-sela lantai ternyata dibawahnya langsung laut. 

Saya tidur dengan tidak nyenyak berteman nyamuk-nyamuk jahanam. Berharap malam segera usai dan pagi menyambut dengan sinar mentarinya yang hangat, yang akan mengantarkan saya menuju pantai-pantai indah di Bintan. (Bersambung ke Pantai Lagoi Beach, Resort Untuk Semua Kalangan)

Post a Comment: