Mei 10, 2017


Ingin melihat seperti apa rasanya hidup di jaman kerajaan? datang dan menginaplah di kampung Baduy. Sebuah kampung dimana modernisasi di tolak tetapi tidak dengan lembaran kertas rupiah.

Perjalanan saya menuju kampung Baduy ini diawali dari Yogyakarta langsung menuju Banten, tepatnya di daerah Leuwidamar, Kabupaten Lebak.

Kunjungan ke Baduy ini dalam rangka praktikum lapangan mata kuliah Geografi Terpadu yang harus diakhiri dengan membuat laporan penelitian. Duh!

Dari kota Lebak, bus yang membawa sekitar lima puluh orang mahasiswa ini langsung menuju ke Desa Kanekes yang berada di kaki Pegunungan Kendeng. Melewati perbukitan dengan lama perjalanan sekitar dua setengah jam.

Jalan aspal yang banyak lubangnya ini membuat bus yang kami tumpangi berasa sedang berdandsa cha cha cha.

Mesin waktu

Sesampainya di terminal, patung besar yang menggambarkan satu keluarga Baduy, lengkap dengan pakaian tradisionalnya menyambut kami dengan lambaian tangannya.

Toko oleh-oleh, suvenir dan kerajinan khas Baduy berderetan mengelilingi terminal ini. Minimarket modern di ujung sana juga tidak mau kalah.

Gadis baduy yang malu-malu tapi mau di foto.
Setelah sejenak beristirahat dan melakukan briefing, pak dosen membagi satu kelas yang berisi lima puluh orang ini menjadi dua kelompol, yaitu lima belas orang masuk kelompok Baduy Dalam sementara sisanya masuk kelompok Baduy Luar. Saya masuk kelompok yang mengeksplor Baduy Dalam. Yes!

Perjalanan pun di mulai.

Saya mulai berjalan melewati rumah-rumah penduduk dengan jalan paving yang menanjak. Terlihat anak-anak Baduy sedang duduk-duduk di depan warung kelontong sambil menonton televisi yang ada di warung itu.

Mereka terlihat antusias menontonnya. Suku Baduy tidak diperkenankan memiliki fasilitas berteknologi modern, sehingga ketika mereka melihat televisi di warung warga non-Baduy, mereka terlihat sangat menikmatinya.

Hampir di setiap warung kelontong yang saya jumpai pasti terdapat warga Baduy yang sedang asik menonton televisi.

Sementara itu, rayuan ibu-ibu penjual suvenir terus bersahut-sahutan di belakang saya.

Sebelum memasuki kampung, kami melakukan briefing sekali lagi dan berdoa bersama.

Kelompok saya berangkat duluan di iringi muka cemberut teman-teman yang tidak berkesempatan masuk ke Baduy Dalam.

Rumah bambu sederhana namun terlihat sejuk dan nyaman.
Di perbatasan antara warga non-Baduy dengan warga Baduy ada perbedaan yang sangat mencolok.

Di satu sisi ada rumah dengan tembok bata dan kabel-kabel listrik menjuntai semrawut. Di sisi sebelahnya, yang tampak hanya rumah panggung dari kayu dan bambu, tampak reot dan renta. 

Kedua rumah ini benar-benar bersebelahan. Mungkin hanya berjarak satu meter saja namun sudah terlihat sangat berbeda. Seakan-akan saya sedang berada di persimpangan zaman. Menembus waktu.

Baduy Luar

Desa Baduy yang bersebelahan dengan desa modern ini merupakan desanya penduduk Baduy Luar.

Suku Baduy, atau mereka biasa menyebut diri mereka dengan sebutan 'Kanekes' ini terdiri dari suku Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbedaan yang paling tampak dari mereka adalah bajunya.

Warga Baduy Luar biasanya mengenakan pakaian berwarna hitam atau biru tua keunguan dengan ikat kepala hitam. Mereka ini masih diperbolehkan menggunakan sedikit hasil dari modernisasi, seperti sabun mandi, sabun cuci, menumpang kendaraan bermotor, dan lainnya.

Sementara warga Baduy Dalam pakaiannya berwarna putih atau biru tua. Mereka tidak diperbolehkan sama sekali menggunakan teknologi modern. Bahkan menggunakan satu batang paku untuk memperbaiki rumah pun tidak diperbolehkan.

Kostum khas orang-orang dari Baduy Dalam
Pemandu perjalanan kami adalah warga Baduy Dalam asli. Ada empat orang, yaitu Aa Jali, Jukri, Yuli, dan dek Arman. Yang terakhir disebut ini umurnya baru sepuluh tahun tapi tenaganya luar biasa.

Mereka sehari-hari menggunakan bahasa Sunda dialek Banten namun sudah fasih berbahasa Indonesia. Saya kebagian dipandu oleh Aa Jali, yang paling tua.

Sebenarnya ketika baru sampai di terminal, banyak warga Baduy Dalam yang mengerubungi kami dan menawarkan jasa pemandu. Tapi dari pihak kampus sudah menyewa pemandu langganan, sehingga kami terpaksa harus menolak tawaran mereka.



Terlihat juga beberapa ibu-ibu yang sedang mengobrol sambil berdiri di pelataran salah satu rumah. Bahkan di salah satu rumah warga Baduy Luar ada warung kelontong yang menjual aneka jajanan snack modern dan beberapa minuman kemasan.

Jadi selama di Baduy Luar ini saya masih aman dari yang namanya primitifisasi.

Kebanyakan wanita di Baduy hanya memakai kemben saja saat di rumah

Trekking ke Baduy Dalam

Setelah beberapa menit berjalan kaki melewati jalan paving pemukiman Baduy Luar yang naik turun, petualangan yang sebenarnya akhirnya dimulai.

Jarak menuju Baduy Dalam kira-kira 12 km dengan jalan tanah yang berlumpur dan naik turun. Tantangan tersebut saya terima dengan gembira, sudah tidak sabar rasanya ingin mencoba trekking jalannya orang Baduy yang sudah ada sejak ratusan tahun ini.

Sekitar setengah jam perjalanan, saya tiba di tempat yang terdapat banyak deretan gubuk dengan ukuran yang lebih kecil dari rumah penduduk.

Setelah saya tanyakan ke aa Jali, ternyata gubuk-gubuk ini berfungsi sebagai lumbung tempat menyimpan hasil panen. 

Komplek 'Gudang Makanan' Suku Baduy
Di gubuk-gubuk ini kami berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongan yang terasa begitu kering.

Tidak jauh dari situ, ada sebuah pancuran air dari bambu yang mengalirkan air langsung dari mata air di hutan. Pancuran ini merupakan sumber air minum warga Baduy di daerah ini.

Karena airnya terlihat sangat jernih, saya pun penasaran untuk mencoba meminumnya. Rasanya menyegarkan. Lebih segar dari pada air pegunungan dalam kemasan.

Saya tidak peduli berapa jumlah bakteri yang ada di dalam air tersebut, yang penting rasanya segar, dahaga terobati.

Antre mendapatkan air segar asli pegunungan.
Hutan Adat

Saya menyeberangi sebuah jembatan yang terbuat dari bambu. Tiang-tiang jembatan bambunya berderet menancap sampai dasar sungai dan menjutai sampai ke atas. 

Kembali berjalan, saya melewati sebuah hutan yang sangat rimbun. Saking rimbunnya, bahkan mungkin kucing pun tidak bisa melewati hutan ini. Penasaran, saya bertanya kepada Aa Jali. Aa Jali berkata kalau ini adalah Hutan Adat atau biasa di sebut Hutan Larangan. Tidak sembarang orang boleh memasukinya.

Hutan adat, selain sebagai salah satu bagian dari kepercayaan si pemegang adat juga secara tidak langsung merupakan sebuah upaya konservasi untuk melindungi ekosistem di sekitarnya.

Manusia sangat mudah dipengaruhi bila hal itu menyangkut kepercayaan. Dengan pantangan-pantangan tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat setempat, orang jaman dahulu sebenarnya sudah menerapkan sistem konservasi alam melalui konsep 'Hutan Larangan' ini.

Berkembangnya jaman dan semakin majunya pemikiran manusia, pantangan-pantangan tersebut tidak lagi berupa takhayul, namun berupa peraturan perundang-undangan yang menakuti masyarakat dengan denda dan penjara.

Jembatan Bambu yang susunannya rumit namun terlihat epic.
Modernisasi off-limit

Perjalanan di lanjutkan sampai saya menjumpai sebuah pohon yang terdapat ikatan daun pisang yang telah kering. Di sini kami di berhentikan oleh Aa Jali yang berambut gondrong itu.

"Lurus pohon ini adalah kawasan Baduy Dalam, jadi tolong ya semua barang-barang elektronik jangan di pakai" kata dia dengan bahasa Indonesia campur Sunda.

Di sinilah perpisahan saya dengan kamera dan handphone. Semua alat elektronik kami matikan. Tidak ada musik, tidak ada suara jepretan shutter kamera. Semua mendadak sunyi.

Foto bersama sebelum memasuki Baduy Dalam.
Hari itu, hanya kami yang mengunjungi Baduy Dalam. Langit mulai berwarna jingga. Kegelapan berangsur-angsur datang dari arah timur.

Kami mempercepat tempo jalan. Dari santai menjadi agak ngebut, melewati hutan rimbun dengan jalan yang sempit.

Jarak dari perbatasan tadi dengan kampung Baduy Dalam tidak lah jauh, mungkin hanya sekitar satu jam perjalanan.

Sebelum masuk komplek perkampungan, kami kembali melewati sebuah jembatan dengan sungai dangkal yang cukup jernih di bawahnya.

Kampung Baduy Dalam dikelilingi oleh pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi dengan jarak yang rapat-rapat.

Kampungnya sangat sunyi. Jangkrik-jangkrik sudah mulai bernyanyian sementara langitnya semakin bertambah gelap, menyisakan sedikit cahaya yang sulit menembus rapatnya kanopi bambu yang bergerombol bak payung.

Jalan yang dilewati selama perjalanan ke Baduy dalam adalah jalan tanah merah seperti ini.
Penduduk kampung yang tadinya berada di dalam rumah mendadak keluar dan menyambut kami. Beberapa membawa kerajinan tenun dan parang untuk di tawarkan. Wow, belum apa-apa sudah banyak sales.

Kami berkumpul di rumah Aa Jali. Sebuah rumah panggung yang terbuat dari bambu. Rumahnya bisa menampung sepuluh orang. Tidak ada perabotan apa pun di dalamnya. Kosong seperti hatikuHanya terlihat beberapa perkakas sehari-hari (yang dibuat sendiri) menggantung di dinding bambu.

Kami disuguhi air putih dan gula aren oleh Aa Jali. Gula aren ini merupakan salah satu hasil produksi masyarakat Baduy Dalam dengan menyadap nira pohon aren.

Suguhan gula aren kepada tamu merupakan salah satu suguhan mewah orang Baduy Dalam. Ibarat kami di suguhi kue jika bertamu ke rumah seseorang. 

Saya ambil dan emut satu potong gula aren, di susul dengan satu tegukan air putih. Tak disangka, rasa manis dari gula aren yang larut dalam air yang saya minum ini terasa begitu menyegarkan.

Tipikal teras rumah Suku Baduy.
Sambil duduk bersila di beranda rumah yang beralaskan tikar anyaman bambu, kami saling bercerita. Kami menanyakan budaya suku Baduy, sementara mereka menanyakan tentang kota kami, Yogyakarta.

Ternyata warga Baduy benar-benar taat akan budaya mereka. Pernah suatu ketika mereka di undang bertemu presiden. Mereka mengutus dua wakilnya untuk berangkat ke Jakarta dengan berjalan kaki! Ya, mereka jalan kaki dari kampung mereka ke Jakarta tanpa naik satu kendaraan transportasi pun. Luar biasa bukan? Inilah traveler sejati, pikir saya.

Selain itu mereka juga menceritakan mengenai agama mereka, Sunda Wiwitan. Sebuah ajaran kepercayaan yang berakar pada penghormatan para karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh alam (animisme).

Kepercayaan ini juga sedikit banyak di pengaruhi oleh agama-agama Hindu, Buddha, dan Islam. Mereka percaya bahwa orang Kanekes merupakan keturunan langsung Nabi Adam.

Bentuk penghormatan kepada roh alam semesta dilakukan dengan cara menjaga dan melestarikan alam. Maka tak heran jika hutan di daerah ini sangat rimbun dan kestari, sungai-sungainya juga jernih.

Orang baduy memegang teguh sebuah 'pikukuh' atau kepatuhan yang berbunyi:


'Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.' Artinya adalah 'Panjang tidak boleh di potong, pendek tidak boleh disambung'.

Pikukuh tersebut merupakan konsep dari 'tanpa perubahan apa pun' atau perubahan dilakukan sekecil mungkin. Maka dari itu orang Baduy Dalam ini tidak mau menerima adanya modernisasi.

Banyak kunang-kunang dan jamur fosfor

Tak terasa gelap sudah turun, jam tangan saya menunjukan pukul 18:12, waktunya sholat maghrib. Kami mencari sumber air dan berakhir wudhu di sungai dekat perkampungan.

Suasana gelap gulita, satu-satunya penerangan hanyalah lampu minyak yang kami bawa dari kampus. Karena menggunakan minyak, jadi tidak masalah digunakan di kampung Baduy Dalam.

Saat sedang berwudhu, tatapan mata saya tertuju pada beberapa titik kecil di tanah yang menyala kehijauan. Setelah saya dekati ternyata itu adalah gerombolan jamur.

Jamur-jamur tersebut bercahaya hijau di tengah gelapnya malam. Kami baru kali pertama ini melihat jamur fosfor yang ternyata tumbuh di tanah Baduy Dalam.

Sungguh takjub karena setelah melihat sekeliling kami ternyata ada banyak jamur yang menyala kehijauan, mirip pemandangan di film-film famtasi.

"Gaes, deloken, jamure podo murub iki!" Teriak saya dengan girang, memberi tahu teman saya yang tadi ikut berwudhu kalau banyak jamur yang menyala dalam gelap.

Teman-teman yang di belakang langsung berlarian penasaran dan langsung takjub melihatnya.

Ukuran jamurnya kecil-kecil dan bergerombol, jadi terlihat seperti kerajaan para peri. 

Sayang sekali saya tidak bisa memotretnya karena sudah di larang sebelumnya untuk tidak boleh menggunakan alat elektronik, dan saya menghormati itu.
Ilustrasi jamur fosfor yang ada di kampung Baduy Dalam (Foto: Angus Veitich)
Jamur menyala atau jamur fosfor seperti yang ada di Baduy Dalam ini nampaknya bisa di jumpai juga di Pegunungan Halimun Salak (menurut website halimunsalak.org).

Jamur ini dapat menyala karena adanya enzim latiferiza dan bio fosfor yang akan memberikan nyala putih kebiruan atau kehijauan di malam hari.

Menginap di Baduy Dalam

Kami sholat di dalam rumah Aa' Jali setelah sebelumnya dia keheranan karena baru kali ini ada orang yang sholat di rumahnya. Selesai sholat, saya mengabari teman lainnya yang belum melihat jamur, jadinya kami pergi lagi ke pinggir sungai untuk melihat jamur itu.

Rasanya benar-benar tak terlupakan. Saat memasuki pinggiran sungai, suasana tetiba berubah menjadi fantasi. Kami hening memandangi jamur fosfor itu.

Hanya suara jangkrik dan deru sungai yang terdengar. Kunang-kunang di seberang sungai juga tak mau kalah, mereka menari-nari anggun memendarkan cahaya kuningnya.

Ilustrasi kunang-kunang yang ada di kampung Baduy Dalam (foto: Steve Hoever)
Malam itu kami habiskan hanya dengan mengobrol saja. Sesekali hening karena tidak ada obrolan lagi. Sungguh, tidak banyak yang bisa di lakukan dalam kegelapan tanpa teknologi seperti ini. Apalagi tidak ada kopi sebagai teman begadang.

Entah karena bosan atau kelelahan akhirnya saya terpejam pada pukul sembilan malam. Kami tidur hanya beralaskan tikar, dan itu merupakan alas tidur yang paling nyaman yang pernah saya rasakan.

Saya terbangun oleh decitan lantai bambu yang terinjak oleh sebuah langkah kaki buru-buru. Matahari sudah mengintip masuk melalui celah-celah dinding bambu.

Setengah sadar, saya mencium aroma kopi dan asap kretek teman saya.

"Loh kok ada kopi?" Tanya saya. 

"Lah iya, aku lupa kalau ternyata aku bawa kompor, nesting, dan kopi" jawabnya sambil terkekeh.

"Woo, asyem tenan koe!" gerutu saya.

Saya join kopi dengan teman saya itu yang biasa dipanggil 'Pak Taka' karena badannya yang besar dan mukanya yang boros umur.

Kami menikmati kopi di beranda rumah Aa Jali sambil melihat aktifitas pagi hari warga Baduy.

Setelah semua anggota tim segar bugar, kami melanjutkan aktivitas penelitian kami yakni mengambil data lapangan mengenai geografi fisik seperti suhu, ketinggian, curah hujan, dan sebagainya.

Sebelum pulang, tak lupa kami membeli dulu kerajinan tangan warga Baduy Dalam yang sudah ditawarkan sejak kemarin sore, seperti kain, ikat kepala, badik, madu hutan, gula aren, dan lain sebagainya.

Perjalanan pulang di pandu oleh pemandu yang sama seperti kemarin. Tetapi kali ini saya di pandu oleh dek Arman. Bocah kecil yang rasa ingin tahunya amat besar.


Dek Arman yang sukanya kepo.
"A sudah punya istri?" Tanya Arman dengan penuh rasa ingin tahu.

"Belum lah, masih harus sekolah dulu, baru cari istri" jawab saya.

Dengan muka heran dia berkata "Anak laki seumuran aa kalau di sini sudah punya anak lho".

Perkataannya itu diiringi oleh tawa teman-teman yang menyeringai jahat sambil berkata "dasar jomblo".



 Tulisan ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2013

Post a Comment: