Tampilkan postingan dengan label Jawa Tengah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawa Tengah. Tampilkan semua postingan
Juli 14, 2018
Juli 13, 2018
Ziarah Kuburan Belanda, Kerkhof 'Stana Landa' Purbalingga
Juli 13, 2018
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Wisata Sejarah,
Mungkin meninggal karena sakit, dan yang jelas orangtuanya pasti lah sangat sedih dengan kepergian anak bayinya itu sehingga untuk mengenangnya dibuatlah batu nisan yang cukup mewah berbentuk tugu kecil yang langsung menarik perhatian saya ketika memasuki area kerkhof ini.
Continue Reading
September 09, 2017
Ngaku Pemberani? Yuk Wisata Malam Hari ke Lawang Sewu
September 09, 2017
Dalam Negeri,
indonesia,
Jawa Tengah,
Semarang,
Sponsorship & Advertorial,
Wisata Sejarah,
Apa yang pertama kali kamu pikirkan saat seseorang menyebut Lawang Sewu?Apakah horor? Angker? Menakutkan?
Tahukah kamu, pendapat seperti itu
tak sepenuhnya benar. Lawang Sewu yang terkenal ini sebenarnya terlalu megah dan
indah kalau harus disemati dengan image horor
dan isu-isu miring yang tak enak didengar.
Continue Reading
Februari 02, 2016
Seramnya Kuntilanak Dibalik Indahnya Bukit Ayu di Kaki Gunung Slamet
Februari 02, 2016
Gunung,
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Wisata Alam,
Masih di sekitar Purbalingga, jadi mumpung saya lagi mudik maka saya sempatkan untuk menjelajah tempat-tempat yang belum terjamah di daerah Purbalingga untuk menggali potensi-potensi pariwisata di kota Purbalingga ini supaya industri pariwisatanya semakin maju.
Mbolang kali ini, saya di temani tiga orang ekpslorer Purbalingga yang sudah malang melintang di ranah petualang Purbalingga yaitu Jipeng, Ole, dan Fito. Tujuan kali ini sebenarnya adalah Gunung Kelir yang terletak di kaki Gunung Slamet. Bukan gunung sih, hanya bukit yang terlihat menantang langit dari jalan, membayangi kebun-kebun strawberry disekitarnya.
Malam minggu, sehabis Isya kami berangkat dari Purbalingga menuju Desa Serang, Pratin, Purbalingga. Kalau kalian mau kesini, tempatnya dekat dengan Basecamp Bambangan Gunung Slamet, tapi Basecamp Gunung Slamet masih keatas lagi. Jalannya nanjak terus, sesekali ada jalan turunan, sekedar menghibur mesin motor yang sudah meraung-raung.
Sekitar 45 menit perjalanan dari Purbalingga, terlihatlah deretan pohon pinus dan cemara sepanjang kanan kiri-kanan jalan. Sepi tidak ada orang.
Didepan terlihat nyala kemerahan dari lentera sebuah warung di antara hutan pinus. Warung itu ternyata lumayan ramai, ada beberapa bapak-bapak yang sedang bersenda gurau sambil sesekali merayu mbak-mbak si penjaga warung, lumayan cantik dan bahenol sih tuh mbak-mbaknya, hehe. Kami hampiri warung itu dan memesan secangkir jahe susu ditemani tempe mendoan untuk mengobati hawa dingin yang menusuk menembus jaket kami..brrr.
Pemandangan dari atas bukit |
Sambil menyeruput
jahe susu yang kental, kami bertanya kepada bapak-bapak disitu mengenai
Arah memulai pendakian Gunung Kelir. Ealah ngga disangka bapak tersebut malah
menceritakan cerita-cerita horor mengena Gunung tersebut. “Gunung kelir toli akeh medine mas, yakin, ngono kue sarange kuntilanak”
(“Gunung kelir itu banyak setannya mas, yakin, disitu itu sarangnya
kuntilanak”), kata bapak itu dengan muka serius dan tangan yang
mengacung-ngacung ke arah siluet Gunung Kelir yang tampak dari belakang warung.
“Tapi nek arep munggah ya ora papa ngonoh, ngko ati-ati aja njagongi kayu mati nang dalan ya, karo aja turonan nang ngisor wit, laju bae pokoke, tapi kie kayane arep udan lho mas” (Tapi kalau memang mau naik ya tidak apa-apa, nanti hati-hati, jangan menduduki kayu mati yang sudah roboh dan jangan tiduran atau duduk-duduk di bawah pohon, pokoknya jalan terus, tapi kayaknya mau hujan ini mas”). Walah, bisa mengendorkan semangat kami ini perkataan bapak-bapak ini.
Kami masih terus ngobrol-ngobrol mengenai arah menuju Gunung ini dan harus dimulai dari mana, sesekali obrolan politik pun diselipkan sebagai penyegar.
“Tapi nek arep munggah ya ora papa ngonoh, ngko ati-ati aja njagongi kayu mati nang dalan ya, karo aja turonan nang ngisor wit, laju bae pokoke, tapi kie kayane arep udan lho mas” (Tapi kalau memang mau naik ya tidak apa-apa, nanti hati-hati, jangan menduduki kayu mati yang sudah roboh dan jangan tiduran atau duduk-duduk di bawah pohon, pokoknya jalan terus, tapi kayaknya mau hujan ini mas”). Walah, bisa mengendorkan semangat kami ini perkataan bapak-bapak ini.
Kami masih terus ngobrol-ngobrol mengenai arah menuju Gunung ini dan harus dimulai dari mana, sesekali obrolan politik pun diselipkan sebagai penyegar.
Jahe Susu sudah
habis sampai tetes terakhir, dan benar juga, ternyata hujan turun, walaupun
Cuma gerimis tapi cukup deras. Kami berpamitan dengan gerombolan bapak-bapak
genit yang humoris ini untuk segera menuju ke lokasi awal pendakian.
Motor kembali melaju, mendaki jalanan aspal yang mulus dengan kebun kobis dan strawberry menggantikan hutan pinus di sepanjang sisi jalan. Disebuah pertigaan yang terdapat satu pohon besar, kami jalan lurus sampai mentok tidak ada jalan lagi. Disitu ada sebuah rumah bercat kuning dengan lampu teras yang lumayan terang, niatnya kami akan menitipkan motor di rumah tersebut.
Kami langsung melangkah menuju teras dan mengetok pintu rumah tersebut. Seorang bapak berkumis lebat muncul dari balik pintu ditemani putrinya yang masih kecil dan imut-imut. Kami mengatakan maksud kedatangan kami sambil minta ijin berteduh sampai hujan reda.
Cerita horor kembali keluar, si Bapak mengatakan kalau gunung itu memang banyak kuntilanaknya, dan katanya juga medannya sulit, jarang sekali ada yang iseng-iseng ingin naik kesana. Aaaaah tidaaak… Suasana horor seperti diamini oleh rintik hujan yang tak kunjung reda. Dengan pertimbangan yang matang dan saran dari bapak itu, maka kami putuskan untuk menunda pendakian pada esok harinya.
Untuk menghabiskan malam, kami menginap di basecamp Bambangan, Gunung Slamet yang hanya berjarak 15 menit dari situ. Di basecamp ternyata banyak pendaki yang baru akan naik Gunung Slamet. Karena sudah kenal dengan si mbok Basecamp, kami langsung dibuatkan kopi hitam, dan langsung menggelar matras dan sleeping bag, ngobrol-ngobrol sebentar dengan pendaki-pendaki yang ada disitu kemudian lanjut tidur.
Motor kembali melaju, mendaki jalanan aspal yang mulus dengan kebun kobis dan strawberry menggantikan hutan pinus di sepanjang sisi jalan. Disebuah pertigaan yang terdapat satu pohon besar, kami jalan lurus sampai mentok tidak ada jalan lagi. Disitu ada sebuah rumah bercat kuning dengan lampu teras yang lumayan terang, niatnya kami akan menitipkan motor di rumah tersebut.
Kami langsung melangkah menuju teras dan mengetok pintu rumah tersebut. Seorang bapak berkumis lebat muncul dari balik pintu ditemani putrinya yang masih kecil dan imut-imut. Kami mengatakan maksud kedatangan kami sambil minta ijin berteduh sampai hujan reda.
Cerita horor kembali keluar, si Bapak mengatakan kalau gunung itu memang banyak kuntilanaknya, dan katanya juga medannya sulit, jarang sekali ada yang iseng-iseng ingin naik kesana. Aaaaah tidaaak… Suasana horor seperti diamini oleh rintik hujan yang tak kunjung reda. Dengan pertimbangan yang matang dan saran dari bapak itu, maka kami putuskan untuk menunda pendakian pada esok harinya.
Untuk menghabiskan malam, kami menginap di basecamp Bambangan, Gunung Slamet yang hanya berjarak 15 menit dari situ. Di basecamp ternyata banyak pendaki yang baru akan naik Gunung Slamet. Karena sudah kenal dengan si mbok Basecamp, kami langsung dibuatkan kopi hitam, dan langsung menggelar matras dan sleeping bag, ngobrol-ngobrol sebentar dengan pendaki-pendaki yang ada disitu kemudian lanjut tidur.
Tingkatan jenis vegetasi Gunung Slamet yang dengan jelas terlihat dari Bukit Ayu |
Paginya ketika
fajar baru nampak setengah, kami meluncur ketempat kemarin, memarkirkan motor
dan pamit dengan si empunya rumah. Cerita berhantu tentang kuntilanak yang semalam kami dengarkanpun sirna seiring dengan bersahabatnya mentari pagi ini.
Pendakian diawali dengan menaiki bukit melewati ladang-ladang kubis dan strawberry, sayang strawberrynya belum berbuah. Jalurnya benar-benar masih tertutup jadi kami harus selalu menyibak rerumputan dan semak-semak sepanjang perjalanan. Walau belum ada jalurnya, kondisi medannya cukup mudah untuk didaki karena landai dan tidak terlalu curam.
Sekitar tiga puluh menit mendaki, kami sampai diatas bukit, dan ternyata bukit tujuan kami masih ada dibaliknya dengan kondisi harus menuruni jurang serta tidak terlihat tanda-tanda jalan sama sekali.
Karena it’s seems impossible untuk menaiki Gunung Kelir dari sisi ini (dan juga karena sudah malas, hehe) maka kami putuskan untuk cukup mendaki bukit tempat kami berpijak sekarang dan ternyata...Wow! pemandangan di arah timur sangat indah! Matahari menyibak Bukit-bukit barisan dan dua gunung besar di arah timur.
Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing telrihat jelas, padahal jaraknya lumayan jauh! Sementara di sebelah barat, Gunung Slamet menjulang tinggi dengan sangat jelas tanpa tertutup kabut sama sekali. Zona-zona hutan Gunung Slamet pun menjadi tampak sangat jelas! Kami gelar tikar, siapkan kompor dan kopi. Sambil menyeruput kopi dan menikmati pemandangan yang cerah pagi ini serasa mengobati kekecewaan karena tidak jadi naik Gunung Kelir.
Pendakian diawali dengan menaiki bukit melewati ladang-ladang kubis dan strawberry, sayang strawberrynya belum berbuah. Jalurnya benar-benar masih tertutup jadi kami harus selalu menyibak rerumputan dan semak-semak sepanjang perjalanan. Walau belum ada jalurnya, kondisi medannya cukup mudah untuk didaki karena landai dan tidak terlalu curam.
Sekitar tiga puluh menit mendaki, kami sampai diatas bukit, dan ternyata bukit tujuan kami masih ada dibaliknya dengan kondisi harus menuruni jurang serta tidak terlihat tanda-tanda jalan sama sekali.
Karena it’s seems impossible untuk menaiki Gunung Kelir dari sisi ini (dan juga karena sudah malas, hehe) maka kami putuskan untuk cukup mendaki bukit tempat kami berpijak sekarang dan ternyata...Wow! pemandangan di arah timur sangat indah! Matahari menyibak Bukit-bukit barisan dan dua gunung besar di arah timur.
Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing telrihat jelas, padahal jaraknya lumayan jauh! Sementara di sebelah barat, Gunung Slamet menjulang tinggi dengan sangat jelas tanpa tertutup kabut sama sekali. Zona-zona hutan Gunung Slamet pun menjadi tampak sangat jelas! Kami gelar tikar, siapkan kompor dan kopi. Sambil menyeruput kopi dan menikmati pemandangan yang cerah pagi ini serasa mengobati kekecewaan karena tidak jadi naik Gunung Kelir.
Memandang Gunung Kelir yang sangat curam |
Saat turun, kami
tanyakan nama bukit tadi kepada bapak-bapak yang kami singgahi rumahnya kemarin
malam, kebetulan itu bapak lagi mengurus ladang kobisnya, dan katannya bukit
itu gak ada namanya “ya sekarepmu arep
dijenengi apa ngonoh, haha”, kami namakan bukit itu dengan nama bukit Ayu,
karena menyuguhkan pemandangan yang “ayu”
dan juga mbak kunti di atas sana katanya juga namanya “Ayu”, hihihihi.
Continue Reading
Januari 21, 2016
Air Terjun Eksotis di Curug Sumba, Purbalingga
Januari 21, 2016
Air Terjun,
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Wisata Alam,
Tidak saya sangka ternyata di kota kecil Purbalingga yang dikalangan para pelancong hanya dikenal dengan Gunung Slamet, sementara untuk para pebisnis dikenal dengan industri rambut dan knalpotnya terdapat sebuah air terjun atau bahasa daerahnya "curug" yang menurut saya sangat eksotis dan keren abis.
Letak curug ini juga ternyata tidak disangka berada dibawah sebuah jembatan kecil di sebuah desa bernama Desa Tlahab Kidul, Kecamatan Bobotsari.
Sebelumnya saya pernah mencoba kesini saat saya pulang dari Desa Wisata Limbasari dan mendapat info dari penduduk sekitar kalau ada sebuah Curug yang letaknya tidak jauh dari Jalan Raya Bobotsari - Karangreja namun setelah saya kesana teryata zonk! karena sungainya sedang banjir.
Letak curug ini juga ternyata tidak disangka berada dibawah sebuah jembatan kecil di sebuah desa bernama Desa Tlahab Kidul, Kecamatan Bobotsari.
Sebelumnya saya pernah mencoba kesini saat saya pulang dari Desa Wisata Limbasari dan mendapat info dari penduduk sekitar kalau ada sebuah Curug yang letaknya tidak jauh dari Jalan Raya Bobotsari - Karangreja namun setelah saya kesana teryata zonk! karena sungainya sedang banjir.
Akhirnya saya kembali kesini dalam perjalanan pulang dari pendakian Gunung Beser untuk sekedar mandi-mandi lucu.
Berada ditengah areal persawahan, menantilah sebuah Curug indah dengan air yang berwarna hijau karena refleksi lumut dan tanaman-tanaman yang berada diatasnya.
Untuk menuju Curug ini saya harus melewati sebuah jalan tanah sekitar 300 meter dari jalan raya, kemudian motor saya parkir di pinggir jembatan. Dari jembatan saya jalan turun melewati pematang sawah sekitar lima menit dan... inilah Curug Sumba yang keren itu.

Berada ditengah areal persawahan, menantilah sebuah Curug indah dengan air yang berwarna hijau karena refleksi lumut dan tanaman-tanaman yang berada diatasnya.
Untuk menuju Curug ini saya harus melewati sebuah jalan tanah sekitar 300 meter dari jalan raya, kemudian motor saya parkir di pinggir jembatan. Dari jembatan saya jalan turun melewati pematang sawah sekitar lima menit dan... inilah Curug Sumba yang keren itu.
Airnya jernih dan segar, namun pada bagian kolam utamanya terlihat dalam karena saya tidak bisa melihat dasarnya. Dasar kolam tersebut mungkin menyatu dengan warna air yang kehijauan tersebut.
Dibagian tebingnya ada sebuah celah gua kecil yang terdapat air mengalir dari dalamnya. Untuk air terjunnya sendiri tidak besar, namun saat banjir bisa menjadi sangat besar dan ganas. Tidak ada orang disini selain saya dan Fito, teman perbolangan saya.
Dibagian tebingnya ada sebuah celah gua kecil yang terdapat air mengalir dari dalamnya. Untuk air terjunnya sendiri tidak besar, namun saat banjir bisa menjadi sangat besar dan ganas. Tidak ada orang disini selain saya dan Fito, teman perbolangan saya.
Tidak menunggu lama, langsung saya ceburkan badan berlemak ini kedalam segarnya air kolam Curug Sumba, aiih....rasanya badan ini seperti hidup kembali dari penatnya pendakian Gunung Beser dan panasnya cuaca di siang hari itu.
Buat kamu yang mau mandi di kolamnya dan tidak bisa berenang harus menggunakan pelampung yah, karena dalamnya lebih dari dua meter. Tapi buat yang tidak sempat membawa pelampung bisa berenang dipinggirannya yang airnya dangkal, sama segarnya kok, cuman beda sensasinya saja, hehe.
Curug ini wajib dikunjungi jika kamu berkunjung ke Purbalingga, apalagi jika kamu mendaki Gunung Slamet, pulangnya harus mampir kesini, saya jamin semua penat akan hilang, apalagi lokasinya masih satu jalur dengan jalur menuju basecamp Bambangan.
Buat kamu yang mau mandi di kolamnya dan tidak bisa berenang harus menggunakan pelampung yah, karena dalamnya lebih dari dua meter. Tapi buat yang tidak sempat membawa pelampung bisa berenang dipinggirannya yang airnya dangkal, sama segarnya kok, cuman beda sensasinya saja, hehe.
Curug ini wajib dikunjungi jika kamu berkunjung ke Purbalingga, apalagi jika kamu mendaki Gunung Slamet, pulangnya harus mampir kesini, saya jamin semua penat akan hilang, apalagi lokasinya masih satu jalur dengan jalur menuju basecamp Bambangan.
foto-foto lain :
Januari 14, 2016
Menyibak Kabut Gunung Beser Purbalingga
Januari 14, 2016
Dalam Negeri,
Gunung,
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Cuaca sore hari ini begitu buruk.
Petir bersahut-sahutan di angkasa. Saya hanya bisa memandangnya dengan pasrah karena
acara ngecamp sore ini jadi batal karena hujan.
Sebenarnya saya bersama seorang teman berencana untuk mengeksplor sebuah gunung di Kecamatan Karang Jambu, Kabupaten Purbalingga. Gunung ini terlihat begitu menjulang saat dilihat dari jalanan dan nampaknya belum pernah di eksplorasi untuk kegiatan wisata.
Gunung ini juga terlihat di cerita saya sebelumnya saat saya berada di Desa Wisata Limbasari. Nama gunung ini adalah Gunung
Beser.
Januari 08, 2016
Jalan-Jalan Sore di Desa Wisata Limbasari Purbalingga
Januari 08, 2016
Dalam Negeri,
indonesia,
Jawa Tengah,
Purbalingga,
Travel Stories,
Wisata Alam,
Masih saja belum habis wisata yang
ada di Purbalingga. Purbalingga mempunyai banyak sekali obyek wisata, dari
wahana wisata buatan, beberapa spot untuk rafting, puluhan air terjun, dan
puluhan lokasi tracking bukit yang menyuguhkan pemandangan alam yang indah.
Tidak mengherankan, karena Purbalingga mempunyai letak geografis pegunungan
terutama di daerah utara.
Mumpung lagi mudik, saya coba-coba nyari hestek
Instagram dan hasilnya waoww…banyak sekali tempat yang ajiib yang harus
dikunjungi di Purbalingga. Kemarin sore saya sempatkan waktu untuk mengunjungi
Desa Limbasari di Kecamatan Bobotsari Purbalingga. Desa Limbasari menyuguhkan
Panorama Perbukitan yang berjejer dan juga sungai klawing dengan batu-batu
besar yang eksotis.
Perjalanan dari kota Purbalingga menuju Limbasari ditempuh
dengan waktu 30 menit mengendarai supra butut saya. Cara menuju kesana cukup
mudah. Jadi kalau dari arah Purbalingga terus ikuti jalan utama menuju
Bobotsari. Sesampainya di Bobotsari ikuti jalan menuju Kec. Karangreja / Pemalang.
Sekitar 10 menit nanti di kanan jalan ada plang DESA WISATA LIMBASARI. Dari
situ masuk masih sekitar 10 menit. Kalau bingung tanya saja dengan penduduk
sekitar.
Memasuki Limbasari saya disuguhi
pemandangan perbukitan berkabut yang eksotis. Saya sempatkan foto-foto dulu sebelum
cahaya mentari meredup. Karena sendirian jadi harus menggunakan tripod dan
timer untuk memotret diri sendiri, alhasil saya jadi pusat perhatian warga
sekitar yang lalu lalang di sepanjang jalan.
Ada papan petunjuk yang menjelaskan atraksi wisata di Desa Wisata Limbasari namun tidak jelas sama sekali arah dan tujuannya. Hanya sebuah papan bertuliskan list atraksi wisata saja, tanpa petunjuk arah maupun kontak telepon yang bisa dihubungi. Hasilnya sayapun kebingungan dan harus tanya sana-sini.
Ada papan petunjuk yang menjelaskan atraksi wisata di Desa Wisata Limbasari namun tidak jelas sama sekali arah dan tujuannya. Hanya sebuah papan bertuliskan list atraksi wisata saja, tanpa petunjuk arah maupun kontak telepon yang bisa dihubungi. Hasilnya sayapun kebingungan dan harus tanya sana-sini.
Sayang sekali sesampainya di Sungai
Klawing kondisi tidak seperti yang saya bayangkan saat melihat di Instagram,
air sungai membludak berwarna coklat sampai menutupi batu-batu besar tersebut
dikarenakan habis hujan deras. Yah saya hanya bisa gigit jari dan merenungi
nasib karena belum berkesempatan melihat sungai berbatu nan eksotis itu.
River Tubing di Sungai Klawing (Gambar limbasaripatrawisapbg.blogspot.co.id) |
Dengan kecewa saya balik dan menuju
destinasi selanjutnya yaitu Curug Sumba yang menurut perkiraan saya juga airnya
membludak kecoklatan, tapi tidak apa, itung-itung survey lokasi. Curug Sumba
berlokasi tidak jauh dari Desa Wisata Limbasari yakni di Desa Tlahab Kidul.Tepatnya sekitar 500m sebelum plang Desa Wisata
Limbasari.
Jalan menuju curug berada tepat di pinggir jalan Bobotsari-Karangreja diapit persawahan dan berupa jalan kecil berbatu yang hanya muat untuk satu mobil saja. Motor saya parkirkan disebelah jembatan dan saya haru berjalan kaki menuruni pematang sawah sekitar 5 menit.
Curug Sumba ini terkenal dengan airnya yang jernih dan memantulkan warna hijau-biru. Namun seperti yang sudah diduga, sungainya banjir. Setelah mendokumentasikannya, saya pun pulang dengan galau..hahaha. Mungkin besok lagi jika cuaca tidak hujan saya akan kesini lagi untuk menagih janji. Akhirnya saya berhasil menuju curug Sumba ketika surut / tidak banjir! ceritanay ada disini Air terjun Eksotis Curug Sumba Purbalingga
Jalan menuju curug berada tepat di pinggir jalan Bobotsari-Karangreja diapit persawahan dan berupa jalan kecil berbatu yang hanya muat untuk satu mobil saja. Motor saya parkirkan disebelah jembatan dan saya haru berjalan kaki menuruni pematang sawah sekitar 5 menit.
Curug Sumba ini terkenal dengan airnya yang jernih dan memantulkan warna hijau-biru. Namun seperti yang sudah diduga, sungainya banjir. Setelah mendokumentasikannya, saya pun pulang dengan galau..hahaha. Mungkin besok lagi jika cuaca tidak hujan saya akan kesini lagi untuk menagih janji. Akhirnya saya berhasil menuju curug Sumba ketika surut / tidak banjir! ceritanay ada disini Air terjun Eksotis Curug Sumba Purbalingga
![]() |
Kali klawing di Desa Limbasari jika debit air kecil (photo credit : @sexsoii ) |
Januari 06, 2016
Pantai Menganti, Melihat Laut Lepas Dari Atas Bukit
Januari 06, 2016
Dalam Negeri,
indonesia,
Jawa Tengah,
Kebumen,
Pantai,
Travel Stories,
Haloo om..tante, balik
lagi karo nyong, Abeng Sagara. Sapa sih sing ora ngerti
kebuman? kae lho jalur ngidul sing arep ming jogja nek koe sekang arah kulon...lah sori gaes saya kebablasan pake bahasa
daerah sendiri.
Yup, Kalau kamu dari arah barat ( Jawa Barat so on) mau
wisata ke Jogja lewat jalur darat bagian selatan pasti akan melewati kota
Kebumen. Kota yang dibesarkan oleh para sopir truk, bus, angkot, dll,
dikarenakan Kebumen merupakan kota yang dilewati oleh jalur utama Jalan
Nasional dari arah barat menuju timur.
Nah, liburan lalu saya
mendapat kesempatan mengunjungi Kebumen dengan metode dadakan. Kebetulan waktu
itu saya sedang mudik ke kampung halaman di Purbalingga. Baru saja saya sampai
dirumah, langsung ada panggilan masuk "woy, ko wis nengumah? melu yuh!
aku karo bocahan arep ming kebumen kie, arep ming Menganti, jerene apik!" Langsung saja saya mengiyakannya dengan
antusias, saya pun mengajak bojo A.k.A pacar tercinta.
Pagi pukul 06.00
WIB saya berangkat dari Purbalingga menuju Menganti, salah satu pantai yang
sedang naik daun di jalur selatan. Tanpa sarapan!
Perjalanan menuju
menganti ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Biasanya pantai-pantai di
Kebumen jalannya lurus to the point langsung pantai. Beda dengan Menganti,
Pantai ini harus melewati bukit curam dengan jalan yang sempit karena lokasinya
berada di balik bukit. Perjalanan ditempuh dengan waktu 2,5 jam dan dengan
adrenalin yang terpacu karena kondisi jalan yang cukup ekstrim.
Jalannya sudah
aspalt dalam kondisi yang bagus karena sepertinya baru saja di perbaharui. Yang
membuat jantung hampir copot adalah jalan yang sempit dengan tanjakan yang
cukup curam dihiasi pemandangan jurang di kanan-kirinya. Pos retribusi terlewati
dengan membayar retribusi per orang Rp. 5000 sedangkan retribusi kendaraan Rp.
10.000 untuk mobil dan Rp.5000 untuk motor.
Dari pos retribusi jalan
masih naik lagi. Baru saat ada turunan, terlihatlah hamparan permadani biru nan
berkerlap-kerlip di sepanjang sisi kanan kami dengan ornamen pasir putih
sebagai penghias tepinya (dan juga botol plastik yang berserakan).
Semakin
mendekati lokasi parkir semakin banyak terlihat kapal-kapal nelayan yang tengah
berlabuh di tepian pantai dengan warna-warninya yang semakin menambah indah
pantai tersebut.
Banyak warung-warung di lokasi parkiran yang rata-rata menjual
es kelapa muda dan juga mendoan monster yang besarnya se-taplak meja. sempat
tergiur untuk mampir sebentar di warung namun kami putuskan untuk mampir pas
pulangnya saja.
Untuk menuju tebingingnya kami harus berjalan sekitar 15 menit
naik turun bukit dengan pemandangan pohon cemara yang seakan-akan dengan
pelitnya menghalangi pandangan kami untuk melihat laut lepas.
Selang 15 menit, di
balik bukit terlihatlah segerombolan gazebo yang sayup-sayup terdengar suara
musik dangdut koplo yang di putar keras-keras oleh pemilik warung disitu.
Dengan semangat membara kami turuni bukit dan berlari menuju gazebo yang paling
besar dan merebahkan diri sambil meneguk air mineral yang kami bawa.
Sambil
menikmati angin semilir dan memandangi lautan lepas dengan pemandangan pantai
pasir putih, perahu nelayan dan tebing-tebing di kanan-kiri dari atas bukit, tanpa
disadari ternyata didalam gazebo ada tulisan "Sewa Gazebo Rp.10.000".
Yahh..gak jadi gratis.
Saya kira gazebo ini adalah fasilitas publik yang
disediakan memang sebagai penunjang pariwisata, tapi ternyata masih bayar juga.
Tak apalah walau berbayar, hitung-hitung sebagai tambahan pendapatan warga
sekitar dan berharap juga untuk dialokasikan sebagai dana pengembangan obyek
wisata Pantai Menganti.
Sesi foto-pun dimulai
(terutama untuk the ladies). Pose sana, pose sini, lompat kesana kemari
sampai jungkir balik. Semakin siang semakin banyak pengunjung yang berdatangan
dengan kaos hitam MTMA-nya. Karena cuaca makin panas dengan tempat berteduh
yang minim kami putuskan untuk menyudahi sesi di atas bukit dan kembali turun
menuju parkiran dimana pusat lokalisasi perut berada.
Kami menghampiri sebuah
warung berwarna biru bertingkat dua dengan tempat duduknya yang menghadap laut.
Si ibu empunya warung mendatangi kami dengan senyum ramahnya seraya menyodorkan
menunya.
Es kelapa muda dan mendoan monster-pun datang. Mendoan ini menggunakan
bumbu kuning khas daerah ngapak timur dengan ukuran yang super jumbo, mungkin
empat kali lebih besar dari mendoan banyumasan reguler. Bumbu kunir dan
rempah-rempah meresap dalam ke daging-daging tempenya, membuat rasa mendonya
gurih, ditambah dengan sambel cabe semakin menambah perut dan lidah ternodai
kesuciannya.
Kenyang sudah, segar
sudah, saatnya melanjutkan ke pantai di balik bukit sebelah barat pantai
menganti yaitu Pantai Karang Agung yang untuk mencapainya kita perlu tracking
menuruni bukit dan hutan sekitar setengah jam. Untuk episode Karang Agung
nantikan di artikel saya berikutnya yang tidak tahu kapan akan saya tulis,
tergantung mood, hehehe, dadah, salam asoy!
Photo Gallery :
![]() |
Langganan:
Postingan (Atom)
Designed By: Blogger Templates | Templatelib