April 02, 2015


Sore ini Purbalingga cerah sekali, tak seperti biasanya yang selalu mendung dan turun hujan. Saya menikmati sore hari ini dengan secangkir kopi hitam yang tak terlalu manis dan ditemani hisapan rokok favorit sambil menikmati kecerahan suasana alun-alun kota. 

Langit begitu cerah, awan-awan putih bertebaran di angkasa dengan bias sinar matahari berwarna oranye menembus awan-awan tersebut, matahari hendak tenggelam tampaknya. Ditengah kenikmatan tersebut, tiba-tiba ada yang mencuri perhatian saya, yakni dua orang bule yang sedang berjalan ditengah alun-alun sambil menenteng tas ransel besar dengan tampilan ala kadarnya. Si cowok mengenakan kaus merah dengan celan khaki 3/4 yang sobek dibagian lututnya, sedangkan si cewek mengenakan kemeja motif bunga-bunga dengan tanpa alas kaki alias nyeker. Wah, sungguh keren penampilan mereka. Coba saja kalau mereka bukan bule, pasti sudah di caci-maki oleh khalayak umum.


Mereka duduk lesehan dengan beralaskan rumput sambil menikmati suasana langit sore ini yang memang sungguh luar biasa indah menurut saya. Karena penasaran, saya dekati mereka. Setelah menyapa, basa-basi, akhirnya kami berbincang-bincang sedikit. 

Saya bertanya mengapa mereka berada di kota kecil ini, yang sangat jarang sekali kedatangan bule dari ras kaukasoid ini. Kalau ada, palingan hanya bule dari Korea ataupun China yang notabene merupakan bos-bos dari pabrik-pabrik bulu dan rambut palsu yang tersebar di seantero Purbalingga. Ternyata, mereka berada di Purbalingga hanya sekedar transit sebelum kembali melakukan perjalanan mereka menuju Yogyakarta. 

Metode perjalanan yang mereka pakai adalah hitch hikking yaitu menyetop kendaraan-kendaraan pribadi supaya bisa numpang gratis sampai tujuan. Di Indonesia sendiri, terutama di kota-kota besar sudah bermunculan komunitas hitch hikking ini, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dll.

Mark dan Natasha nama mereka. Mereka berasal dari Russia, tepatnya dari kota St. Petersburg. Visa 30 hari mereka manfaatkan dengan sangat maksimal, sebelumnya di Indonesia mereka telah menjelajahi Dumai, Lampung, Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, Purwokerto, dan akhirnya sampai di sini, Purbalingga, sebelum menuju Yogyakarta. Mereka sungguh ramah dan cerewet. Mereka minta pendapatku, tampat mana saja yang most recommended untuk mereka kunjungi selama berada di Jawa. Tentu saja, saya rekomendasikan tempat-tempat seperti Karimunjawa, Dieng, Surakarta, pantai selatan Gunung Kidul, Bromo, Malang, dll. 


Anak-anak kecil yang tadinya hanya ada dua, sekarang bertambah menjadi sepuluh anak yang mengerubungi kami seiring dengan obrolan yang semakin hangat. Maghrib-pun tiba, langit bertambah memerah warnanya, dan jauh lebih indah. Suara adzan dari masjid agung berkumandang dengan merdunya.

Tiba-tiba mereka berdiri dan langsung mengekspresikan keindahan senja itu dengan menari-nari, berpelukan, dan saling cium, ohhhh...wtf! Mereka tampaknya begitu gembira. kata Natasha "When I hear them singing, calling people for praying, it's voice and melodies are so beauty, peaceful, dramatic, and also romantic" Natasha merinding dan merasa suara adzan itu selalu membuatnya merasakan suatu perasaan yang misterius, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin terdengar lebay, namun memang adzan sore ini begitu berbeda, suaranya begitu merdu, ditambah suasan langit cerah yang memang indah dan dramatis.

Malam mulai turun dan it's time to say goodbye. Mereka berdua hendak melanjutkan perjalanannya, dan saya juga hendak pulang ke rumah. Setelah tuker-tukeran e-mail dan nomor telepon, akhirnya kami say goodbye, mereka langsung bersiap dengan jurus hitch hikkingnya. Ternyata, kota kecil seperti Purbalingga juga mampu kedatangan bule nyentrik seperti mereka. Nice to see you, Nat and Mark, hope to see you again.


Lokasi Purbalingga yang berada di jalur tengah  merupakan daerah tempat wisata dataran tinggi yang eksotis. Ada baturaden di Purwokerto, Gunung Slamet, Dataran Tinggi Dieng di Wonosobo dan Banjarnegara, dan merupakan jalur alternatif menuju Propinsi Yogyakarta. Dengan lokasi seperi ini seharusnya pemerintah dapat memanfaatkannya dengan baik, mengelola peluang dan kesempatan yang ada. Siapa tau mungkin nanti, Purbalingga tidak hanya menjadi tempat transit bule-bule, namun justru menjadi destinasi utama bagi mereka.

2 comments: