Desember 15, 2014

Sumbing, Merapi, dan Merbabu dilihat dari Sindoro
Beberapa bulan kemarin saya bersama dua orang teman melakukan pendakian ke puncak gunung Sindoro, Wonosobo, Jawa Tengah, namun baru sekarang ini saya sempat mempublikasikannyam mumpung lagi mood. Sindoro merupakan gunung yang masih perawan, karena dibagian badan gunungnya tidak terjamah oleh manusia, beda dengan sumbing yang pada bagian badan gunungnya sudah ditanami oleh penduduk. karena kealamiannya tersebut, Sindoro sering sekali mengalami kebakaran hutan.
Untuk yang baru belajar naik gunung bisa baca artikel Tips Mendaki Gunung
Perjalanan diawali dengan menuju basecamp Kledung yang terletak di desa Kledung, Wonosobo. Kami bertiga berangkat dari Yogyakarta menggunakan sepeda motor. Jarak tempuh dengan laju yang santai sekitar dua jam dengan jalur Yogyakarta-Magelang-Wonosobo. Jika menggunakan bus, maka naiklah bus jurusan Wonosobo, dan turun di daerah Kledung, tepatnya disebelah restoran Dieng Pass. 


Basecamp gunung Sindoro masihlah sangat rendah karena sangat dekat dengan jalan besar. Basecamp ini juga menjadi markas dari tim SAR yang bernama GRASINDO. Disini sudah ada tempat istirahat, toilet, tempat ibadah, penjualan souvenir, dan makanan.

Sebaiknya sebelum mendaki Sindoro, sediakanlah perbekalan air yang lebih, karena gunung Sindoro miskin akan mata air. Hampir tidak ada sumber air di atas gunung ini. Lebih baik bawa perbekalan makanan segar dari bawah seperti nasi bungkus yang memang sudah disediakan oleh basecamp untuk menghemat air.

Basecamp Gunung Sindoro
Pendakian dimulai

Dari basecamp, kami masih harus menempuh ladang-ladang tembakau penduduk sekitar satu jam sebelum masuk hutan. Terdapat tukang ojek yang bisa mengantarkan kita dari basecamp sampai pintu masuk hutan (watu gede) dengan tarif Rp. 15.000, sebenarnya lumayan menghemat tenaga. Saya sarankan untuk naik ojek saja, karena jalur ladang ini lumayan mengesalkan walaupun jalannya lurus-lurus saja.

Dari Watu Gede kami berjalan memasuki hutan-hutan yang lumayan gelap karena waktu itu kami memulai pendakian pada pukul setengah lima sore. Trek dari Watu Gede sampai ke pos 1 Sibajing tidaklah sulit. Jalannya landai, hanya saja sempit. Di pos 1 kami istirahat sejenak untuk melepaskan dahaga dan menghisap sebatang rokok. 

Setelah segar kembali, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2. Lagit sudah gelap, dan matahari sudah terbenam. Jalur yang kami ambil adalah yang sebelah kanan, karena jika lurus merupakan jalan buntu. Jalurnya sedikit menanjak, namun masih tergolong relatif mudah.

Dari sini kami harus melewati dua buah bukit. pada bukit yang berikutnya kami melewati jembatan kayu yang terdiri dari tiga kayu yang dijejerkan. Jembatan ini bisa menjadi patokan kami. Suasananya semakin gelap karena jalurnya dikelilingi oleh pohon-pohon lamtoro dan pinus. sekitar jam 8 kami sampai di pos 2, kami beristirahat sejenak. Pos 2 ini berketinggian 2.120 mdpl, sedangkan pos 1 hanya 1900 mdpl. Jadi kami hanya menempuh jarak 220 m. 


Ladang Tembakau warga sekitar Gunung Sindoro
Dari pos 2, kami berjalan kembali menuju pos 3 Seroto. Jalur yang kami lewati lumayan menanjak, perpaduan kerikil dan tanah berdebu lumayan menyulitkan, sehingga kami harus menggunakan slayer kami sebagai penutup hidung dari debu. Kami berhenti sejenak pada sebuah batu yang cukup besar. Katanya batu besar ini dulunya merupakan bekas candi, tapi tidak tahu benar atau tidak sih, soalnya bentuknya juga lumayan simetris. 

Dari batu ini kami naik lagi, hutannya mulai terbuka dan angin malam mulai menerpa kami. berhenti sejenak saja, dingin langsung menjalar. Semakin keatas semakin terbuka, nah saat berada di tempat datar yang cukup luas dan agak terbuka, disitulah pos 3 Seroto berada. Tempatnya bisa menampung belasan tenda.

Disini kami bertemu dua orang dari semarang yang sudah mendaki lebih dulu. mereka sedang mendirikan tenda sederhana atau bivak. Kami disini beristirahat cukup lama, memasak dan ngopi-ngopi dulu bersama dua teman baru ini. Pemandangannya bagus. Karena cuaca saat itu cerah, maka Gunung Sumbing terlihat sangat mempesona walau dikegelapan malam. berjalan ke arah jurang, kita dapat melihat lamu-lampu kota wonosobo berkerlap-kerlip. 

Chef Narto kebanggaan kami
Waktunya mendirikan tenda

Kami kembali melanjutkan perjalanan lebih keatas lagi. Jalur dari pos 3 ke atas sudah mulai sulit didaki karena lumayan curam, berbatu, berkerikil, serta berdebu.

Setelah memanjat sekitar satu jam, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tempat datar sebelah kiri kami. Sebenarnya lokasinya tidak terlalu jauh dari pos 3, hanya saja treknya lumayan terjal.

Tenda didirkan, kayu bakar dikumpulkan, dan api unggun dinyalakan. Nikmatnya ngopi sambil ngobrol ngalor-ngidul sembari memandang gunung Sumbing.  Pukul dua belas malam kami terlelap. Subuh bangun, kemas-kemas, dan ngopi dulu, tidak lupa foto-foto sunrise dulu. 

Suasana pagi dari lokasi camp.
Ketemu pendaki ekstrim

Jalan semakin terjal namun lumayan teduh karena dikelilingi oleh pohon lamtoro dan tanaman-tanaman perdu. namun hanya sebentar. Setelah itu hutan kembali terbuka, jalannya lebih curam dan sulit. Batu-batu besar mulai bermunculan disekeliling rumput-rumput hijau dan semak-semak belukar. Pohon-pohon lamtoro tampak berdiri jarang, sesekali hanya satu batang pohon saja. 

Pemandangan ini sungguh eksotis, bayangkan padang rumput, dengan batu-batu besar dan pohon kurus tinggi yang berdiri sendiri, sungguh beautiful! sayangnya jalannya menanjak. Puncak-puncak bayangan mulai terlihat, dimana saat kita melihat keatas, tampak ujung dari tanjakan yang setelah kita naiki ternyata masih ada tanjakan lainnya. Dari puncak bayangan satu ke yang lainnya jalurnya sungguh terjal. Lumayan menguras tenaga. Disinilah air sangat dibutuhkan. 


Puncak bayangan yang melelahkan.
pada saat kami sedang ngos-ngosan mendaki, kami menjumpai tanah datar yang ternyata telah berdiri tenda darurat (sangat darurat) disitu. Kami berhenti untuk istirahat sambil bertanya-tanya apakah di tenda tersebut ada orang atau tidak.

Tenda tersebut (kalau saya bilang sih bukan tenda) hanya dibuat dengan memanfaatkan mantel kelelawar, kayu sebagai tiang, dan matras sebagai alasnya. Mungkin karena mendengar suara berisik diluar, si penghuni tenda tersebut keluar dan akhirnya kami saling menyapa. Dia hanya seorang saja, dari Bekasi, perbekalannya sangat minim, tidak membawa jaket, dan hanya bercelana pendek, edaaaan!. 

Setelah bercerita, ternyata tadinya mas-mas ini yang berama Didi berencana trekking tanpa ngecamp untuk naik ke puncak, namun apa daya, jalurnya begitu terjal, sehingga mas-mas ini harus berhenti karena kelelahan yang luar biasa. Hari ini dia berencana untuk turun saja karena sudah tidak kuat, namun setelah kami bujuk akhirnya dia mau melanjutkan perjalanannya kembali. 

Menuju puncak Sindoro

Perjalanan kami lanjutkan setelah sebelumnya ketambahan satu personel. Ditengah jalan tiba-tiba mas Didi muntah-muntah, mungkin akibat semalam tidur didalam tenda darurat tanpa jaket dan bekal yang minim sehingga dia masuk angin. Kami istirahat sebentar sambil mengobati Didi. Setelah lumayan baikan, kami naik lagi.

 Jalurnya sungguh sangat berat, terjal dan terbuka, sehingga panas matahari begitu menggnaggu perjalan kami. Pohon-pohon edelweis berada disekeliling kami, memandangi kami dengan rasa iba, hehe. Pemandangannya lumayan indah, menengok kebelakang ada gumpalan-gumpalan awan dan sosok raksasa gunung Sumbing. 


Alam yang indah tak henti-hentinya menyemangati pendakian ini
Setelah melewati hutan edelweis, kami masih harus naik lagi, terdapat pohon-pohon edelweis yang lumayan tinggi, sehingga dapat dijadikan tempat berteduh. karena saya capek, saya berhenti agak lama sambil menikmati pemandangan alam bersama Didi, sementara dua orang teman saya berangkat duluan.

Saat kami berdua tengah istirahat, dua orang dari semarang yang ngecamp di pos 3 datang dengan enteng dan ringannya, sambil menyapa, mereka mendahului kami. Cepat benar mereka, memang kalau tubuhnya kurus dan langsing , mendaki jadi lebih gampang ya? tidak seperti saya yang lumayan kepayahan karena timbunan lemak ditubuh lumayan banyak.

Puncak Gunung Sindoro
Akhirnya, puncak!

Pendakian menuju puncak akhirnya berhasil setelah nafas ngos-ngosan setengah mati. Puncak tidak lebar, hanya memanjang mengeliling kawah yang lumayan dalam. Kita bisa turun kedalam kawah yang cukup lebar sambil menikmati aroma belerang yang keluar dari asap didalam kawah. 

Kawah ini pada musim hujan akan terendam oleh air sehingga membentuk danau kawah yang dapat kita minum airnya, namun sayang kami mendaki pada musim kemarau, sehingga tidak berkesempatan melihat danau kawah tersebut.Terik matahari sangat menyengat, panasnya ngga nahan!.

Dipuncak kami masak-masak dulu , puas-puasin foto-foto, puas-puasin menikmati pemandangan yang luar biasa indah, dan puas-puasin perjuangan kami (khususnya saya) yang lumayan berat ini. 

Dari puncak, jika kita menghadap ke arah selatan maka akan tampak gunung Sumbing yang kelihatan megah, sedikit kearah timur maka akan tampak gunung merbabi dan merapi di kejauhan.sungguh menakjubkan! puncak gunung selalu menampilkan pemandangan dan kepuasan batin tersendiri bagi para pendakinya.

Setelah puas, kami turun dengan hati gembira. Hati-hati saat turun karena jalannya merupakan campuran kerikil, debu, dan pasir sehingga jika kita lengah, bisa-bisa kita tergelincir.

Kawah Sindoro, dengan penunggunya berpose genit ;)
Fact : Gunung Sindoro - 3.136 m.dpl, setidaknya ada tiga nama yang dikenal baik oleh masyarakat, Sindoro, Sundoro atau Sendoro. Adalah termasuk dalam jajaran gunung berapi yang mempunyai bentuk kerucut dengan tipe Strato. Dari kejauhan nampak seperti dua saudara kembar antara Sundoro dan Sumbing, berdiri kokoh di batas Kabupaten Temanggung sebelah barat dan sebelah timur kota Wonosobo. Diantara keduanya, dipisahkan oleh pelana Kledung (1.405 m.dpl) yang melintasi jalan raya, menghubungkan Wonosobo dengan kota Magelang.


Gunung Sindoro mempunyai Koordinat/ Geografi pada 7° 18'LS dan 109° 59.5' BT dan memiliki areal Kawasan Hutan cukup luas yang di kelola oleh PERHUTANI Wonosobo (772 mdpl) dan Temanggung. Berada di puncaknya, kita bisa melihat pemandangan disekitarnya, bagian lereng gunung ditanami hamparan kebun teh yang mengelilinginya sehingga menjadikan lereng sindoro terlihat hijau sepanjang tahun.


Di bagian timur dari puncak datar seluas 400 x 300 m terdapat kawah kembar besar berukuran 210 x 150 m, sedangkan dataran Segero Wedi, Banjaran, di bagian barat dan utara, adalah sisa dari kawah utama dan sekunder. Kerucut dan kawah parasit ditemukan di lereng barat daya dan timur laut dan di kaki tenggara. Beberapa ratus bukit di kaki timur laut menurut Taverne dan van Bemmelen merupakan sisa erosi dari suatu longsoran tanah sebelum tanah sebelum sejarah atau dari lahar.


Berikut ini merupakan peta jalur pendakian gunung Sindoro (klik biar gede) : 


Post a Comment: