Januari 22, 2019



Lanjutan dari "Potret Kehidupan Masyarakat Sumba - Sebuah Asa Ditengah Keterbatasan."

Kakek Yoha meyuruh cucunya untuk mengambilkan sirih pinang di dalam rumah. Sejurus kemudian, satu set sirih pinang sudah ada di depan saya.

Kakek kemudian mengambil sebuah pinang, mengunyahnya, kemudian menaburkan kapur ke dalam mulut. Penasaran, saya pun ikut mencoba.

Beberapa saat setelah mengunyahnya, mulut saya terasa seperti terbakar dan kepala agak melayang-layang. Sensasi rasa sengar beradu di dalam mulut. Sesekali saya meludahkan air liur ke tanah yang langsung berwarna merah.

Ini pertama kalinya saya mencoba sirih pinang dan entah kenapa kok saya menyukainya. Sampai-sampai sebelum meninggalkan Sumba saya sengaja membelinya di pasar untuk dibawa pulang.














View this post on Instagram















Sayang anak sayang anak... #family #culture #traditional #folk #livefolk #children #child #granny #grandma #village
A post shared by Sagara Abe (@abesagara) on Feb 22, 2016 at 1:51am PST

Setelah pinang pertama habis, saya lanjutkan pinang kedua sambil sesekali menghisap rokok kretek yang saya bawa.

Dengan ikut mengunyah sirih pinang mengikuti kakek Yoha, tanpa sadar saya melakukan sebuah metode mirroring, salah satu metode psikologi untuk mengakrabkan diri dengan seseorang.

Saya pernah membaca sebuah buku psikologi dimana ketika kita melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan lawan bicara, maka lawan bicara akan merasa ada kedekatan personal dengan kita.

Cara ini sangat efektif ketika saya mencoba berbaur dengan masyarakat di setiap tempat yang saya kunjungi. Selain itu, dengan melakukan apa yang orang lain lakukan -terutama budayanya- tentu akan menambah pengalaman traveling kita.

Sumba, Kubur Batu, dan Marapu

Kalau di Sumba, jangan heran jika melihat kuburan berada di dekat rumah. 

Kami saling bercerita, sesekali diselingi candaan yang membuat kakek Yoha terkekeh kemudian diikuti dengan senyumannya yang hangat.

Saya banyak bertanya tentang budaya orang Sumba kepadanya. Tentunya seorang kakek yang usianya di atas enam puluh tahun ini paham betul akan budayanya sendiri.

Pertanyaan seperti kenapa ada kubur batu, kenapa banyak tanduk kerbau di rumahnya, kenapa banyak orang yang membawa parang di kota, dan kenapa kenapa lainnya keluar begitu saja dari mulut saya yang masih mengunyah sirih pinang.

Seperti seorang anak kecil yang sedang di bacakan dongeng oleh kakeknya, saya menyimak penjelasan kakek Yoha dengan antusias.

Kubur batu yang banyak saya lihat di Sumba merupakan peninggalan budaya leluhur sejak dari jaman megalitikum sekitar 4500 tahun yang lalu. Maka tak heran jika budaya kubur batu di Pulau Sumba ini dinobatkan menjadi salah satu situs warisan budaya dunia.

Selain sebagai sebuah produk budaya, kubur batu juga mencerminkan status sosial masyarakatnya. Semakin megah dan mewah kuburnya, maka semakin tinggi status sosialnya.

Sebuah totem atau patung pemujaan untuk menghormati roh nenek moyang. 

Sebagian masyarakat Sumba masih menganut kepercayaan Marapu yang bercampur dengan agama Nasrani. Di dalam rumah kakek Yoha, saya melihat sebuah salib kayu tergantung apik di atas tembok bambu, berpadu mesra dengan kubur batu Marapu di luar rumah.
Baca juga: Melihat Kepercayaan Marapu di Kampung Adat Manola, Tena Teke, Sumba 
Marapu adalah kepercayaan asli orang Sumba yang memuja arwah nenek moyang serta meyakini bahwa roh-roh leluhur adalah penghubung antara mereka yang masih hidup dengan Sang Pencipta.

Karena itulah orang Sumba mengubur jasad kerabat mereka yang telah meninggal di dekat rumahnya, supaya bisa selalu dekat dengan leluhurnya.

Hal inilah yang mungkin membuat orang Sumba bersifat sangat kekeluargaan bahkan dengan orang asing sekalipun.

Budaya Yang Mahal

Orang Sumba rela hidup miskin demi melestarikan budaya leluhur. 

Kakek Yoha menjelaskan, jika seorang kerabat meninggal dunia maka akan diadakan upacara kematian dengan membuat sebuah kubur batu yang diiringi penyembelihan hewan ternak seperti babi dan kerbau.

Semakin banyak hewan yang dikorbankan maka dipercaya akan membuat roh yang telah meninggal semakin bahagia di dunia sana. Selain itu banyaknya hewan kurban juga berarti status sosialnya semakin tinggi.
Hewan kurban ini selain di korbankan oleh keluarga sendiri juga di sumbangkan oleh kerabat. Hewan kurban yang berasal dari sumbangan ini nantinya harus dikembalikan atau di bayar balik saat keluarga si penyumbang ada yang meninggal. Jumlah harus sama atau lebih dari yang dulu pernah di sumbangkan. 


Sistem semacam ini, kata Kakek Yoha, membuat banyak masyarakat Sumba terjebak dalam kemiskinan karena seumur hidupnya harus melunasi hutang sumbangan yang telah di terima.

Sebenarnya, dulu Bupati Sumba Barat telah membuat peraturan yang mengatur tentang jumlah maksimal hewan yang boleh di sumbangkan. Tapi peraturan itu sepertinya tidak banyak berpengaruh bagi masyarakat yang sangat memegang teguh budayanya ini.

Upacara pemakaman orang Sumba perlu modal yang tidak sedikit (foto: nttprov.go.id) 

Kakek Yoha melanjutkan, selain kematian, hal lain yang membuat banyak orang Sumba hidup dalam kemiskinan adalah belis pernikahan.

Pernikahan di Sumba, terutama Sumba Barat dan Sumba Barat Daya merupakan perkawinan antar suku. Ada suku penerima gadis yang di sebut 'doma' dan suku pemberi gadis yang disebut 'loka'.

Kedudukan suku ini tidak boleh dirubah-rubah menjadi sebaliknya. Kedudukan suku pemberi gadis juga lebih tinggi. Maka dari itu, perkawinan adat Sumba bisa disebut sebagai perkawinan matrilineal.

Belis merupakan mahar perkawinan yang harus dibayarkan oleh doma kepada loka sebagai tanda serah terima berpindahnya anak wanita yang selama ini telah dirawat dengan sebaik mungkin oleh keluarganya kepada calon suaminya.

Belis balasan dari mempelai perempuan salah satunya adalah kain tenun. 

Belis tidak hanya di berikan oleh keluarga laki-laki saja. Keluarga perempuan juga harus memberi balasan atas belis yang telah di terima.

Belis dari keluarga laki-laki biasanya berasosiasi maskulinitas, seperti kerbau dan kuda, parang dan tombak, serta mamoli atau perhiasan dari emas yang biasanya digunakan sebagai anting-anting. Sementara untuk pihak perempuan membalasnya dengan benda-benda feminim seperti babi dan kain tenun.

Yang menarik dari mamoli ini adalah bentuknya yang menyerupai rahim perempuan. Mamoli juga berfungsi simbolis sebagai pengganti anak perempuan yang akan di bawa pergi.

Jumlah belis bervariasi tergantung tingkat sosial calon mempelai. Untuk hewan ternak, kelas bangsawan biasanya meminta tiga puluh ekor. Sementara untuk kelas biasa sekitar lima sampai lima belas ekor.

Simalakama Adat Leluhur

Senyuman Kakek Yoha merepresentasikan keramahan masyarakat Sumba. 

Seiring berjalanannya waktu dan cepatnya modernisasi. Peraturan-peraturan adat ini semakin lama semakin melunak.

Kakek Yoha mengatakan salah satu anaknya bahkan ada yang menikah dengan orang Bima.

"Anak saya satu menikah sama orang Sumbawa, biar tidak mahal" katanya sambil terkekeh.

Memang jika diteliti secara sekasama, ada istiadat orang Sumba ini sungguh rumit dan juga mahal. Mungkin rumah-rumah sederhana yang banyak saya jumpai di Sumba merupakan akibat dari mahalnya 'biaya adat' di sini.

Walau seperti apa pun susahnya kehidupan mereka, orang Sumba tidak bisa begitu saja meninggalkan adatnya. Mereka tetap harus menjaga dan melestarikan budayanya sembari terus berjuang mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin mahal.
...

Seperti buah simalakama, mereka tidak bisa meninggalkan adat, namun jika terus bersamanya mereka akan selalu berkutat dalam kemiskinan. 

Ah, siapakah saya menilai kekurangan dan kemiskinan seseorang yang sifatnya subjektif itu. Asalkan mereka mampu tersenyum hangat seperti itu, toh tampaknya mereka bahagia. Meski dari kacamata ekonomi, keadaan mereka akan disebut sebagai 'miskin'.


Baca Juga:
Menuju Pedalaman Sumatera Selatan - Bermula di Muara Dua
Menyusuri Panjangnya Pantai Trikora di Pulau Bintan
Chinese Garden Singapore, Oase di Tengah Riuhnya Metropolitan
Trekking dan Menginap di Kampung Baduy Dalam

7 comments:

  1. Soal mahalnya biaya pemakaman, jadi mikir, rata-rata di timur Indonesia begitu ya. Kalau di Sumatra kayaknya yang model begitu di Sumatra Utara.

    Pemakaman sekaligus adu gengsi. Err.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yah gimana lagi yah, mau menyalahkan budaya juga nggak enak omnduut. Semua kembali pada pilihan masing2.

      Hapus
  2. Beruntungnya dirimu Kak Abeng, bisa meliput langsung, bisa tanya-tanya langsung ke narasumbernya. Luar biasa. Saya dulu ke sana tidak sempat, soalnya sambil kegiatan dari kantor hahaha. Cuma sempat nonton Pasola yang di Lamboya.

    Di Pulau Sumba, semakin tinggi derajatnya (kasta) maka semakin banyak hewan yang disembelih hehe. Saya pernah juga itu ke kubur batu di Bukit Lamboya, nah ada kubur batu yang terbuka atasnya, telihat ada tulang dan kain warna merah.

    Terimakasih ulasannya, Kak. Awesome!

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mba tuteh. wah kesempatan langka itu bisa melihat isi kubur batunya, dan saya juga belum kesempatan ihat pasola nih.

      Hapus
  3. Ohh pantesan ya di film Marlina Pembunuh Empat Babak suaminya nggak dikubur kubur. Ternyata perlu hewan kurban dulu buat acara pemakamannya.

    Btw rasanya nginang tuh gimana, Mas? Enak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya belum nonton marlina, haha. emang settingnya di sumba yah? rasanya nginang itu sepet, pedes, manteppp.

      Hapus
  4. Memang tidak sederhana ya. Seperti trade-off. Di satu sisi, adat merukunkan masyarakat (menjaga keharmonisan hubungan), tapi di sisi lain punya konsekuensi ekonomi yang berkepanjangan pula. Dan orang kebanyakan seperti tidak bisa memilih yang satu (yang baik) sambil sekaligus meninggalkan yang lain (dampak negatifnya thd kesejahteraan)

    BalasHapus