Maret 10, 2015


Lempuyangan, stasiun nomor dua setelah stasiun Tugu, Yogyakarta. Kereta Prameks menuju stasiun Balapan, Solo sudah tiba. Waktu tempuh dari Lempuyangan ke Balapan sekitar satu jam, dan saya selama itu harus berdiri, karena sistemnya untung-untungan, yang dapat kursi ya bisa duduk, yang tidak dapat ya terpaksa berdiri. Dari stasiun Balapan saya dan ketiga teman saya harus berjalan sejauh kurang lebih 3 km menuju stasiun Jebres dengan bejalan kaki sambil menikmati keindahan kota Solo di malam hari. 

Sepanjang jalan, saya harus jalan di pinggir jalan utama karena tidak terdapat sedikitpun trotoar. Tampaknya pemerintah kota Solo tidak melirik bahkan secuil pun kenyamanan para pejalan kaki. Saya sampai di stasiun jebres pukul delapan malam, sedangkan kereta Matarmaja baru sampai pukul satu dini hari. Alhasil kami berempat harus menunggu selama empat jam, belum lagi kereta juga terlambat satu jam dari jadwal yang sudah tertera di tiket.

Perjalanan dari Solo menuju Malang perlu waktu sekitar tujuh jam. Karena kereta yang saya naiki ini merupakan kereta ekonomi, jadi banyak pedagang-pedagang asongan yang berseliweran menjual berbagai makanan kecil, dan minuman-minuman seperti kopi, teh, dll. Walaupun pedagang asongan sempat dilarang peredarannya, namun mereka masih saja berjualan. Saya tidak merasa terganggu dengan adanya para pedagang asongan ini, justru menurut saya mereka sangat membantu. Bayangkan bila kita tidak membawa bekal makanan selama tujuh jam perjalanan ini tanpa adanya pedagang asongan. Padahal mungkin saat itu kita haus, lapar, dan mungkin ingin sekedar ngopi. Pedagang asonganlah solusinya. 


Pukul 8.15 pagi, saya sampai di Stasiun Kota Baru, Malang. Tampak beberapa polwan berseragam ketat dan juga cantik tengah ngobrol-ngobrol asyik di dekat pintu keluar. Keberadaan polwan tersebut seperti secercah sinar rembulan di tengah kegelapan malam, hahaha.

Keluar dari stasiun, kami disambut oleh sopir taksi, angkot, tukang ojek, dan tukang becak yang langsung menanyakan “kemana mas? Batu? Bromo?“ dan kami cukup melambaikan tangan tanda tidak perlu karena tujuan kami pertama kali sampai di Malang adalah langsung menuju alun-alun yang juga pusat kota dimana disitu berkumpul berbagai objek wisata menarik yang sebagian besar adalah bangunan-bangunan tua bersejarah seperti Toko Oen, Gereja Kayu Tangan, GBIP Immanuel, Masjid Jami, dll. 

Berjalan kaki dari stasiun Kota Baru menuju pusat kota tidaklah jauh, hanya sekitar 2 km. Sepanjang jalan kita akun dipayungi oleh rimbunnya pohon-pohon yang berdiri berjajar di sepanjang trotoar yang nyaman dan berwarna-warni. Dan juga pemandangan kota Malang menurut saya sungguh menarik, tampak oldies, tidak beda jauh dengan Yogyakarta.


Hanya sekitar tiga ratus meter dari stasiun Kota Baru sudah tampak Monumen Tugu Malang, yang katanya berbentuk seperti bambu runcing, dan terletak di alun-alun bunder atau alun-alun lama Kota Malang yang tampak anggun bila dilihat saat malam hari, sayang saya tidak bisa melihatnya di malam hari. Disekitarnya terbaring bunga-bunga berwarna-warni dengan bunga teratai yang selalu mekar. 

Disamping alun-alun ini terdapat banyak pohon-pohon trembesi yang sudah sangat tua umurnya. Kantor Walikota tepat berada di depannya. Alun-alun ini sebenarnya adalah bangunan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda, yaitu bekas dari Taman Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.P Zoen Coen. Tidak jauh dari Monumen Tugu sekitar 1 km ke arah barat sudah berjejer beberapa objek wisata menarik.


Toko Oen terletak persis berhadapan dengan gereja Kayu Tangan, di jalan Basuki Rachmad. Bangunannya tampak tua dengan dominasi warna hijau dan putih. Toko Oen ini merupakan toko yang wajib di kunjungi oleh para pelancong. Dulunya Toko Oen ini sangat populer oleh kalangan pelancong belanda yang berkunjung ke Malang.

Walaupun judulnya adalah “toko” tapi sebenarnya ini adalah sebuah restoran dan café yang menyediakan beraneka makanan dan minuman khas jaman dulu. Yang paling terkenal adalah es krimnya. Disini saya dapat menikmati makanan dan minuman dengan suasana khas tempo dulu. Diselingi dengan alunan piano khas lagu-lagu Belanda maupun lagu-lagu yang agak jadul seperti punyanya Elvis Parsley, The Beatles, dll. 

Tidak hanya bangunannya saja yang kuno, suasana dalam restoran ini juga sengaja tidak pernah dirubah. Ruangan untuk pengunjung dibiarkan luas tanpa penyekat, dengan 3 pilar yang menyangganya. Perabotannya juga antik-antik.

Kesan kuno ini diperkuat dengan dipajangnya radio antic dan sepeda motor merek Villier buatan Belanda tahun 1936. Pelayan pria disini berseragam putih hitam dengan mengenakan peci di kepalanya. Sedangkan pelayan wanita masih mengenakan seragam putih hitam namun dengan rok yang tingginya selutut serta celemek berenda, seperti noni-noni tempo dulu. Saya hanya memesan satu porsi es krim seharga 12 ribu ( ini sudah termasuk yang paling murah lho! ).

 
 
Di seberang Toko Oen terdapat gereja dengan arsitektur gothic bernama Gereja Kayu Tangan. Bentuknya meruncing ke atas. Bener-bener serasa di eropa kalau berfoto di depan gereja ini. Ada juga gereja lainnya yang juga berarsitektur kuno, yaitu GBIP Immanuel.

Gereja ini terletak disamping Masjid Agung Jami’ Malang. GBIP Immanuel bentuknya  juga mengerucut pada atapnya dan juga terdapat seperti pipa-pipa yang menjulur keluar pada menaranya, seperti menara penangkap angin di timur-tengah sana. Keberadaanya yang bersebelahan dengan Masjid Agung Jami’ mengesankan bahwa kerukunan antar umat beragama di Malang sungguh sangat erat. 

Sementara di lain tempat sana, perbedaan agama justru menjadi momok yang menakutkan, namun di Malang ini rasanya semua rukun-rukun saja kecuali tawuran antar supporter sepak bola. Arema telah menjadi ikon kota malang dengan Aremania-nya yang berseragam biru, dan tidak sedikit pula jumlah tawuran antara Aremania dengan supporter sepakbola lainnya.

Toko-toko souvenir bagi para fans Arema di Kota Malang ini jumlahnya bisa dibilang tidak sedikit. Baru keluar dari stasiun Kota baru saja sudah tampak toko-toko baju dan souvenir khas Arema berjejeran dengan tak luput terdapat gambar maupun patung “singo edan” didepannya.



 


Dari Gereja GBIP Immanuel, saya beralih kesebelahnya, yaitu Masjid Agung Jami’ karena adzan dhuhur juga sudah berkumandang. Masjid Jami’ terletak di Jl. Merdeka Barat No.03, tepat disebelah GBIP Immanuel dan didepan Alun-alun Merdeka. Dahulu masjid ini bernama Masjid Agung dan berdiri setelah Pendopo Kabupaten Malang ahun 1824. Masjid ini sangat luas dan terdiri dari empat lantai. 

Lantai bawah merupakan tempat wudlu. Kami beristirahat sejenak di teras luar masjid, sambil tidur-tiduran dan ngobrol-ngobrol, serta tak lupa ikut men-charge baterai hanphone yang sudah kelap-kelip tanda mau wafat karena sudah disediakan stop kontak. Namun tiba-tiba bapak-bapak dengan jenggot lebat dan celana diatas mata kaki datang menegur kami “mas, jangan ngecas hape, ga boleh!” Akhirnya kami cabut chargernya.

Aneh saja, kan sudah disediakan stop kontak diteras masjid, masa kami tidak boleh ikut nge-charge baterai. Mungkin khawatir tagihan listrik masjid membengkak ya? Tapi kan biaya perawatan masjid juga berasal dari jemaah, dan seharusnya akan kembali lagi ke jamaah. Ya sudahlah, akhirnya saya pergi menuju ke depan Masjid Jami’ yaitu alun-alun Merdeka, atau alun-alun baru Kota Malang.

 
Alun-alun Merdeka lumayan luas dengan pohon-pohon besar seperti beringin dan trembesi disekitarnya serta taman bunga berwarna-warni terbaring disamping air mancur ditengah-tengah alun-alun. Banyak juga terdapat tempat duduk bagi warga yang mau bersantai-santai dibawah rindangnya pepohonan.

Yang menarik dari alun-alun Kota Malang ini adalah terdapat banyak burung merpati disini. Ada beberapa rumah burung di sudut-sudut alun-alun. Jadi sambil duduk-duduk santai kita juga dihibur dengan burung-burung merpati yang berseliweran, kita juga bisa memberi makan burung-burung tersebut. Seperti di Eropa saja. 

Setelah berjalan-jalan setengah hari, perut saya pun keroncongan minta diisi. Akhirnya Bakso Gong-lah pilihan kami, harganya yah di atas rata-rata sih, bentuknya juga tidak beda jauh dengan bakso-bakso biasa, tapi rasanya lumayan lah. Setelah kenyang makan Bakso Gong (kebetulan ditraktir salah satu teman kami yang sedang ulang tahun) kami mencari angkot menuju terminal Landung Sari, dimana tempat singgah kami berada. Ngangkot disini cukup mengeluarkan uang Rp. 3000 saja. 

Untung saja ada teman yang bersedia menyediakan kamar kosnya sebagai tempat singgah kami, lumayan bisa ngirit uang hostel sekaligus menambah teman. Uniknya adalah, teman yang menyediakan tempat singgah tersebut merupakan temannya teman dari teman kami. Bingung kan? Saya juga bingung. Yang jelas relasi dan pertemanan merupakan modal utama perjalanan kami. Terimakasih teman.


Sore hari kami beristirahat sejenak sambil melepas penat di kamar kos temannya teman dari teman kami. Tempatnya tidak jauh dari Universitas Muhamadiyah Malang. Malamya kami berjalan-jalan disekitar area kampus UMM saja sambil merasakan suasana tongkrongan di Malang. 

Namun tampaknya untuk suasana tongkrongan, Malang bukan tempat yang begitu cocok, agak sepi dan tempat tongkrongannya juga ga begitu interesting. Makan malam saya mencoba makanan yang dijajakan oleh pedagang kaki lima yaitu tahu telor khas malang, rasanya enak walaupun sebenarnya hanya tahu dan telor yang digoreng bersamaan dengan bumbu kacang diatasnya, harganya cuma Rp. 6000 sudah pakai nasi. 

Didepan tempat kami makan, Universitas Negeri Malang terlihat megah dan luas, seperti yang di iklan-iklan televisi itu. Kami pun menyempatkan berjalan-jalan dikampus UMM, yah not bad, gedung-gedungnya tinggi-tinggi, modern, dan luas, dengan sungai brantas (kalau tidak salah) membelah area kampus tersebut, menambah suasan asri daerah kampus. Kalau Universitas Indonesia punya danau untuk pendukung suasana belajar, UMM punya sungai. 


Entah kenapa belakangan ini setiap kampus berlomba-lomba membangun kampus mereka supaya terlihat Wah dan Megah, untuk kemudian biaya pendidikannya juga bertambah, alih-alih biaya fasilitas yang akan mahasiswa dapatkan. Namun tak jarang juga yang dibangun hanya fisiknya saja, namun kualitas mahasiswanya? Nihil!


Setelah lumayan puas jalan-jalan di Kota Malang. Kasur-pun menanti, dan malam ini tidak terasa sulit bagi saya untuk tidur, karena baru semenit saja memejamkan mata, saya sudah melayang kealam bawah sadar.

Mungkin karena capek setelah seharian jalan terus. Istirahat malam ini merupakan pemulihan energi karena esoknya saya sudah haris fit untuk melanjutkan perjalanan menuju Gunung Bromo, Probolinggo. Ayo rek! Ga ono koe ga rame!


Biaya :  
- Tiket Prameks (Jogja-Solo) Rp. 10.000
- Tiket Matarmaja (Solo-Malang) Rp.65.000
- Angkot dalam kota Malang Rp.3500
- Makan 1x Rp.5.000
- Lain-lain Rp. 10.000


Tips : 
- Bawa bekal sendiri, bawa termos kecil untuk wadah kopi, teh, dll
- Jangan malu bertanya, warga Malang ramah-ramah. 
- Tourist Information ada di dekat Toko Oen dan di Alun-alun Merdeka
- Cari akomodasi gratis lewat teman, jejaring sosial, atau milis backpacker.
- Selanjutnya terserah anda

7 comments:

  1. ceritanya hunting foto at malang ya benx,,

    BalasHapus
  2. huahaha, ya hunting foto sekaligus nguliner min,wkwk

    BalasHapus
  3. wah saya dulu sempat tinggal 5 tahun di malang tapi blom nyoba makan es krim di toko oen hahaha, jadi kangen malang lagi saya :)

    BalasHapus
  4. keren mas.. saya aja yang orang Malang asli belom pernah ke toko OEN.. hehehe

    BalasHapus
  5. @Fahmi & Christian, hahaha, malang asik pkoknya, kotanya sejuk, ga bikin emosi deh,hehe

    BalasHapus
  6. Beneeer! ni kota emang asik banget, jadi kangen sama kota malang nih, padahal desember kemaren baru dari sini loh, mampir ke bromo jugak :D

    BalasHapus
  7. kereeenn :D
    ga mampir ke lawang ? pasar 24jam nya terkenal loh :p

    BalasHapus